Program Indonesia Pintar dan Sejumlah Keanehan Itu

Hernawan | Thomas Utomo
Program Indonesia Pintar dan Sejumlah Keanehan Itu
Pembagian dana PIP di salah satu sekolah (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

PIP atau Program Indonesia Pintar digelontorkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi agar peserta didik berlatar belakang keluarga tidak mampu, dapat terus menempuh pendidikan jenjang SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi, dengan memberikan dana nominal tertentu, kurun beberapa waktu sekali. Namun dalam implementasinya di lapangan, relatif banyak ditemukan keanehan (kalau boleh disebut seperti itu).

Dari faktor guru atau sekolah sebagai pihak yang mengurusi pengajuan dan pencairan dana PIP, misalnya. Ketika dana PIP turun, di sekolah tertentu (tanpa perlu menyebut namanya), segera dicairkan oleh guru atas sepengetahuan kepala sekolah, tapi kemudian, dana tersebut tidak diberikan kepada peserta didik yang berhak.

Sebaliknya, justru digunakan untuk pembangunan fisik sekolah. Guru-guru lain, diminta bungkam.

Keanehan berikutnya, ada kepala sekolah atau guru tertentu, yang menggunakan dana PIP untuk kepentingan pribadi. Dalam kasus di lingkaran terdekat, saya lihat sendiri ada yang menggunakan dana tersebut untuk biaya melanjutkan kuliah. Ada pula yang diperuntukkan bagi rumah tangga. Kasus tersebut, ada yang terbongkar, ada pula yang tidak, sehingga jalan terus.

Dari peserta didik atau keluarganya sendiri, selaku pihak yang menerima dana tersebut, tidak kurang, ada keanehan implementasi.

Pertama, dana yang sedianya dimanfaatkan untuk menopang pendidikan, justru digunakan orang tua untuk kepentingan yang tidak berkaitan dengan sekolah. Untuk modal usaha, belanja kebutuhan dapur, misalnya.

Di sisi lain, ada yang menggunakan dana PIP untuk bepergian piknik. Sehari atau selang tidak lama setelah pembagian dana oleh sekolah, peserta didik tidak berangkat ke sekolah. Esok hari, saat berangkat, barulah mengaku kalau kemarin piknik setelah memperoleh uang PIP.

Ironisnya, pada saat bersamaan, kebutuhan buku pelajaran atau yang semisal itu, tidak terbayar karena penggunaannya yang tidak sesuai alokasi semestinya.

Dalam kasus pertama, yakni penyelewengan dana oleh pihak guru tertentu atau sekolah, sekarang lebih dapat diminimalisasi, di antaranya karena per Maret 2022, pencairan uang PIP hanya dapat dilakukan oleh orang tua peserta didik.

Jadi, kapasitas guru atau sekolah, sebatas mengajukan nama peserta didik guna memperoleh dana PIP dan mengecek siapa-siapa saja yang lolos dalam pengajuan tersebut?

Upaya lain yang ditempuh, sebagaimana saya perhatikan dalam lingkaran cukup dekat, ialah kontroling pihak orang tua peserta didik.

Kurun waktu keluarnya dana PIP antara sekolah satu dengan sekolah lain, tentu hampir sama. Dengan bertanya-tanya kepada sesama orang tua dari sekolah berbeda, orang tua dapat mengetahui apakah dana PIP tahap atau kurun tertentu sudah cair atau belum? Kemudian menanyakan kepada guru yang mengurusi, apakah nama anak mereka masuk dalam daftar atau tidak?

Dalam kasus kedua, yakni penyalahgunaan dana PIP oleh orang tua, ada sekolah-sekolah yang memanggil dan mengumpulkan orang tua guna pembinaan. Semacam pemberian wawasan atau penekanan agar pemanfaatan dana PIP sesuai keharusan.

Namun demikian, kapasitas dan kewenangan sekolah, sebatas memberikan insight dan masukan, tidak lebih dari itu.

Catatan permasalahan beserta sekelumit solusi di atas, dirangkum dari pengalaman pribadi, tepatnya di sekolah tempat saya bekerja, saat ini (kaitannya dengan kasus kedua) dan pengamatan di sekolah-sekolah lain (untuk kasus pertama dan kedua).

Oleh karena itu, bisa jadi, persoalan dan solusi tersebut sangat kasuistik. Lalu bagaimana dengan permasalahan dan solusi seputar penyalahgunaan dana PIP di lingkungan rekan-rekan? Mari disampaikan, kita berdiskusi. Catatan ini, sekadar pemantik.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak