Demokrasi dalam Kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa

Hayuning Ratri Hapsari | Yusep Ginanjar
Demokrasi dalam Kepemimpinan Jenderal Andika Perkasa
Jenderal TNI Andika Perkasa menyinggung TAP MPRS No 25 Tahun 1996 tentang PKI dalam rapat koordinasi. (YouTube/Andika Perkasa)

Jenderal Andika Perkasa lahir di Bandung, 21 Desember 1964. Dalam kariernya dipenuhi dengan sekolah di luar negeri dalam berbagai bidang khususnya dibidang kemiliteran. Andika memiliki tiga gelar master dari universitas di Amerika Serikat.

Andika menjalani pendidikan di Norwich University, kemudian National War College (NWC), dan pada tahun 2005, Andika berkuliah di George Washington University. Selain dari itu, dalam sekolah ketentaraannya di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat 1999/2000 merupakan lulusan terbaik.

Secara nasional, sejak menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad), Jenderal Andika telah memberikan kinerja yang sangat baik. Ia dikenal sebagai figur dengan kepemimpinan yang karismatik, memiliki rasa percaya diri (self-confident), dan visioner (memilki visi yang realistik) serta berani mengambil risiko untuk membuat perubahan. 

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya kebijakan baru yang dikeluarkan ketika beliau menjadi KSAD, Jenderal Andika menghapus tes keperawanan atau pemeriksaan hymen atau selaput dara untuk membuktikan keperawanan dalam seleksi calon Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad).

Kebijakan tersebut diambil karena menurut beliau dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kebijakan ini telah direalisasikan oleh Kepala Pusat Kesehatan TNI AD (Kapuskes AD), Mayjen TNI dr. Budiman yang dituangkan dalam dokumen Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Kesehatan Badan TNI AD Nomor B/1372/VI/2021 tentang penghapusan tes keperawanan calon Komando Wanita Angkatan Darat (Kowad) dan calon istri prajurit TNI

Seperti yang kita ketahui peraturan mengenai adanya tes keperawanan dalam penerimaan calon Kowad, tidak ada relevansinya dengan kondisi kesehatan seseorang. Praktik “tes keperawanan” ini menjadi kontroversi karena tidak hanya dianggap sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap perempuan, tapi juga dinilai sebagai tes yang tidak memiliki dasar klinis dan ilmiah.

Jadi ketika Jenderal Andika melakukan terobosan dengan menghapuskan tes keperawanan didalam seleksi TNI merupakan lagkah yang tepat. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya apresiasi dari berbagai pihak dan sepakat untuk mengampanyekan penghapusan tes keperawanan di tubuh TNI AD ini.

Sebagai pembuktian keseriusan dalam pengambilan kebijakan ini juga Jenderal Andika tidak segan untuk menyediakan nomor telepon pengaduan jika masih ada praktik uji kesehatan badan yang tak sesuai dengan Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Kesehatan Badan TNI AD Nomor B/1372/VI/2021 tanggal 14 Juni 2021.

Setelah resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Panglima TNI pada 17 November 2021, Jenderal Andika Perkasa kembali menjadi sorotan publik atas beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan.

Dalam Rapat Koordinasi Penerimaan Prajurit TNI 2022 yang ditayangkan pada akun YouTube-nya Rabu (30/3/2022), Andika menanggapi beberapa poin pemaparan dari Direktur D Bais TNI Kolonel A Dwiyanto yang salah satunya yakni meminta tes renang dihapus dari seleksi penerimaan prajurit TNI. Ia menjelaskan alasannya "karena tes renang tidak fair dan pasti ada calon prajurit yang sebelumnya belum pernah berenang."

Selain penghapusan tes renang dalam penerimaan seleksi TNI Jenderal Andika juga akan menghapus tes akademik, dia menyebut peneliaian mengenai akademik calon siswa TNI bisa dilihat dari nilai ijazah SMA-nya.

Jenderal Andika menjelaskan jika tes akademik ini sebenarnya tidak perlu dilakukan lagi karena sudah ada dalam nilai raport atau ijazah dari sekolah sebelumnya, jadi tinggal di transkrip. Hal ini juga dinilai dapat mepersingkat dan menghemat anggaran dalam melakukan seleksi bagi calon siswa TNI supaya lebih efektif dan efisien. 

Selanjutnya kebijakan sang Jenderal yang paling kontroversial adalah memperbolehkan keturunan dari orang yang pernah dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) mengikuti tes penerimaan prajurit TNI tahun 2022. Kebijakan ini menimbulkan polemik dalam masyarakat. Mereka mempertanyakan maksud dari kebijakan tersebut.

Namun dalam pengambilan kebijakan, sudah pasti bahwa Jenderal Andika juga tidak semata-mata hanya asal ucap saja, tetapi ia telah mempertimbangkannya dengan matang. Beliau menjelaskan keturunan PKI boleh ikut seleksi dalam penerimaan calon prajurit TNI karena tidak melanggar hukum.

Dalam Tap MPRS Nomor 25 yang dijadikan dasar hukum ideologi hanya menjelaskan mengenai ideologi terlarang seperti komunisme, leninisme, marxisme, jadi tidak ada yang melarang jika keturunan (underbone) PKI untuk ikut seleksi asalkan orang tersebut terhindar dari ajaran ideologi terlarang tersebut. 

Untuk memastikan tidak adanya penyimpangan ideologi dalam tubuh TNI, akan dilakukan tes dan propertes yang sangat ketat dengan menggunakan alat ukur yang sudah teruji validitasnya. Untuk itu sudah sepatutnya tidak ada keraguan lagi dalam menilai kebijakan Jenderal Andika tersebut.

Jika kita lihat lebih jauh kebijakan Jenderal Andika ini telah sesuai dengan menjunjung tinggi nilai Pancasila poin ke 5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang berarti bahwa sudah seharusnya tidak ada lagi diskriminasi terhadap anak/cucu keturunan PKI, karena mereka juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.

Dari beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan, Jenderal Andika Perkasa mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai tokoh. Salah satunya adalah Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi yang menjelaskan kebijakan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang telah melakukan banyak terobosan daam TNI serta mengizinkan keturunan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) mendaftar prajurit TNI adalah langkah progresif.

Hal serupa juga dinyatakan oleh Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik, yang menyebut pihaknya mengapresiasi atas semua kebijakan Andika dalam meperbaiki dalam seleksi penerimaan prajurit TNI. Dia menjelaskan bahwa kebijakan yang membatasi keturunan PKI untuk menjadi prajurit TNI tidak sesuai dengan aturan hukum dan konstitusi.

Jenderal Andika menegaskan dalam masa kepemimpinannya tidak mau lagi ada diskriminasi dalam penerimaan prajurit TNI. Beliau menyadari bahwa di dalam negara demokrasi semua orang memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan.

Jadi semua peraturan yang dianggap kurang relevan, diskriminatif dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat harus segera diperbaharui sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Pasalnya, di dalam bernegara semua kebijakan dalam sektor apapun seharusnya berangkat dari konstitusi yang ada atau peraturan perundang-undangan, bukan asumsi politik. Setidaknya hal ini telah membawa napas baru dalam tubuh TNI yang lebih modern.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak