Kenaikan harga minyak goreng akhir-akhir ini menjadi perhatian serius bagi warga Indonesia. Kenaikan harga ini tentu sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Hal ini terjadi karena minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang cukup berperan penting bagi masyarakat Indonesia, terutama minyak goreng sawit. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan minyak goreng untuk mengolah makanan.
Perkembangan Harga Minyak Goreng
Berdasarkan publikasi Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng Indonesia tahun 2021, komoditas minyak goreng merupakan komoditas yang memiliki andil yang cukup besar dalam pengeluaran konsumsi masyarakat sebesar 0,1 persen setelah perhiasan emas sebesar 0,26 persen dan cabai merah 0,16 persen. Selain itu, proyeksi tingkat konsumsi minyak goreng pada tahun 2019 sebesar 10,86 liter/kapita/tahun.
Angka ini cenderung meningkat dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 9,60 liter/kapita/tahun. Di BPS penghitungan konsumsi dan pengeluaran konsumsi terhadap komoditas minyak goreng bersumber dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Berdasarkan sumber data SUSENAS, perkembangan konsumsi minyak goreng selama periode 2015-2020 mengalami fluktuasi. Perkembangan rata-rata konsumsi minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga di Indonesia selama periode 2015-2020 mengalami peningkatan sebesar 2,32 persen
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pabrik minyak goreng sawit di Indonesia pada tahun 2020 sebanyak 74 pabrik dan 2 di antaranya berada di Provinsi Sumatera Barat. Hal ini juga didukung oleh data dari publikasi Buletin Konsumsi Pangan Kementan pada tahun 2019 di mana produksi minyak goreng Indonesia mampu memenuhi keseluruhan konsumsi nasional. Sebagian dari produksi tersebut bahkan dieskpor ke luar negeri, yang volumenya diperkirakan mencapai 20,36 juta ton. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, bagaimana bisa dengan banyaknya pabrik minyak goreng sawit dan bahkan produksi komoditas minyak goreng juga mampu diekspor keluar negeri, tetapi tetap menjadi komoditas yang pergerakan harganya selalu fluktuatif dan bahkan mengalami kelangkaan. Jika ditelusuri rantai pola distribusi perdagangan komoditas minyak goreng memang cukup kompleks, di mana dari distributor hingga ke pedagang eceran.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, provinsi dengan margin perdagangan dan pengangkutan terendah yaitu provinsi Sumatera Barat di mana margin perdagangan dan pengangkutan terendah (MPPT) sebesar 10,43 persen, artinya pola pendistribusian minyak goreng di Sumatera Barat dari tingkat produsen sampai konsumen akhir hanya melibatkan dua pelaku usaha distribusi perdagangan utama yaitu pedagang grosir dan eceran. Provinsi sumatera barat melakukan pembelian minyak goreng dari 1 provinsi lain yaitu provinsi DKI Jakarta dan melakukan penjualan minyak goreng ke 3 provinsi lain yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Jambi serta penjualan ke luar negeri China, India, serta Myanmar.
Berdasarkan data yang telah disajikan, seharusnya pergerakan harga komoditas minyak goreng di wilayah Indonesia relatif stabil. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Lonjakan harga yang cukup tinggi serta diikuti dengan kelangkaan minyak goreng di beberapa kota di Indonesia menyebabkan inflasi di beberapa barang kebutuhan lainnya.
Hal ini tentu menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk memantau pergerakan komoditas minyak goreng baik dari sisi ketersediaan maupun pendistribusianya. Pemantauan terhadap pergerakan komoditas minyak goreng penting dilakukan karena harga minyak goreng yang masih sering berfluktuasi terutama di momen hari-hari besar nasional meskipun kapasitas produksi minyak goreng secara nasional mampu mengakomodir permintaan domestik.
Salah satu hal yang menyebabkan seringnya terjadi pergejolakan harga komoditas minyak goreng di masyarakat yaitu disinyalir belum efisiennya rantai jalur pendistribusian minyak goreng di setiap daerah. Sehingga kenaikan harga minyak goreng juga turut andil dalam menyumbang terjadinya angka inflasi di Indonesia.
Inflasi Komoditas Minyak Goreng
Inflasi terjadi karena pergejolakan barang yang sangat berfluktuasi. Hal ini terjadi karena bahan makanan tertentu yang harganya sewatu-waktu mengalami kenaikan. Permasalahan ini menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk berupaya dalam menekan harga beberapa komoditas agar inflasi barang bergejolak tidak terlalu tinggi dengan melakukan koordinasi dan penguatan kerjasama dengan antar daerah, menjaga pasokan yang ada, dan menjaga kelancaran distribusi antar daerah.
Menurut Badan Pusat Statistik dalam Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2021, perkembangan inflasi yang tinggi dipengaruhi oleh pergerakan kelompok inflasi barang bergejolak yang disebabkan oleh peningkatan harga sejumlah bahan pangan, antara lain cabai merah, cabai rawit, daging, telur ayam ras, dan minyak goreng.
Berita resmi statistik Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa komoditas minyak goreng menyumbang inflasi sebesar 0,04 persen pada bulan Maret 2022. Minyak goreng menempati urutan kedua di komoditas Makanan, minuman, dan tembakau yang menyumbang inflasi terbesar setelah komoditas cabai merah.
Penghapusan Aturan HET untuk Minyak Goreng Kemasan
Permasalahan inflasi di komoditas minyak goreng terjadi karena pemerintah mencabut aturan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng. Sebelum HET dicabut, persediaan minyak goreng kemasan sempat mengalami kelangkaan sehingga membuat masyarakat di beberapa daerah melakukan panic buying atau membeli minyak goreng sebanyak-banyaknya lalu disimpan untuk kebutuhan di rumah.
Namun, setelah aturan HET untuk minyak goreng kemasan dicabut, stok minyak goreng di beberapa daerah tidak mengalami kelangkaan lagi. Penghapusan terhadap harga eceran tertinggi komoditas minyak goreng membuat harga minyak goreng tidak terkendali meskipun persediaan minyak goreng di Provinsi Sumatera Barat masih dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan Permendag No.11/2022 sudah tidak ada lagi HET minyak goreng kemasan, yang menyebabkan harga minyak goreng kemasan di Provinsi Sumatera Barat mencapai 45 ribu per 2 liter. Untuk HET minyak goreng curah tetap ada dan diatur sebesar 14000 -15.500 untuk per kilogramnya. Permasalahan distribusi juga menjadi salah satu penyebab rata-rata harga minyak goreng di Provinsi Sumatera Barat lebih mahal dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah. Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartanto menyebutkan bahwa pemerintah mencabut aturan harga eceran tertinggi minyak goreng kemasan dan selanjutnya akan diserahkan ke mekanisme pasar dengan menyesuaikan nilai ekonomisnya.
Pencabutan HET minyak goreng kemasan sebaiknya diikuti oleh perbaikan pola pendistribusian barang minyak goreng kemasan agar tidak terjadi lagi penimbunan stok minyak goreng yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab, sehingga dapat menjaga harga minyak goreng agar tetap stabil.
Struktur pasar industri komoditas minyak goreng yang dipenuhi oleh beberapa oknum untuk kepentingan pribadi dan pola distribusi yang belum dikelola dengan baik diduga menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng di pasar. Hal tersebut dibuktikan oleh banyaknya minyak goreng kemasan yang tiba-tiba kembali membanjiri stok yang ada ketika HET dicabut.
Ada dugaan bahwa ketika kebijakan HET diberlakukan, terdapat beberapa pihak yang menahan persediaan minyak goreng kemasan di pasar. Adanya oknum yang tidak bertanggungjawab dalam pengendalian harga minyak goreng ini terjadi karena penegakan aturan pengawasan dan kualitas kebijakan yang masih lemah. Akibatnya dapat terjadi permainan harga oleh oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan yang banyak dengan cara menahan stok minyak goreng yang dimilikinya lalu kemudian menjual saat harga melambung tinggi.
Sebenarnya fenomena terjadinya kenaikan harga minyak goreng cukup logis karena disebabkan oleh kurangnya pasokan minyak nabati dan minyak hewani di pasar global. Ketika bahan baku minyak goreng harganya naik, hal ini tentu akan mengakibatkan produksi minyak goreng mengalami penurunan dan berdampak juga ke harga produk olahannya. Namun, hal ini menjadi tidak wajar dengan fakta yang ada di lapangan, harga minyak goreng kemasan terlalu mengalami kenaikan yang cukup drastis di mana mengingat pasokan minyak sawit Indonesia selalu melimpah dan bahkan Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil CPO terbesar di dunia. Hal ini juga di dukung dari data statistik perkebunan Indonesia yang bersumber dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, perkembangan produksi kelapa sawit di Indonesia tahun 2015-2020 mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,75 persen per tahun.
Upaya Pemerintah
Sebagai barang kebutuhan utama dalam pengolahan makanan, kenaikan harga minyak goreng tentu mengakibatkan adanya efek domino yang berpengaruh pada kenaikan harga bahan dan kebutuhan pangan yang ada. Terbukti dengan banyak kasus pedagang makananan yang cenderung menyiasati kelangkaan minyak goreng dengan memakai minyak berkali-kali dan tidak kunjung mengganti minyak penggorenganya.
Melihat banyaknya dampak yang ditimbulkan karena adanya permasalahan komoditas minyak goreng, tentu menjadi hal yang harus segera ditangani oleh pemerintah. Pemerintah harus tegas mengusut tuntas pelaku-pelaku yang bermain di balik pendistribusian minyak goreng dan pemasaran minyak goreng di pasaran. Sepanjang monopoli terhadap komoditas minyak goreng masih dikuasai oleh beberapa oknum yang tidak bertanggungjawab dengan menimbun stok yang ada, maka permasalahan itu akan terus bergulir di masyarakat.