Lulus SMA adalah awal dari hidup baru seseorang. Pada awalnya mereka akan berbahagia. Sudah lepas dari status ‘siswa’, menjadi manusia dewasa, dan terbebas dari beban tugas. Tapi setelah itu saatnya mereka untuk menghadapi kenyataan manis sekaligus pahit. Manis karena mereka sudah harus memikirkan kuliah dan pahit karena harus melewati berbagai jalur untuk mendapatkan kampus yang mereka inginkan.
Namun kali ini, jalur bukanlah pembahasan utama. Sebab jalur masuk kampus ada banyak dan rinciannya sudah tersedia banyak di internet. Mari berfokus kepada ‘pemilihan kampus’. Pada dasarnya, semua anak pasti akan memilih kampus-kampus terbaik. Alasannya sudah pasti karena popularitas dan prestisius dari kampus yang mereka inginkan. Contohnya adalah UGM, UI, ITB, UNAIR, UNPAD, dan UNDIP.
Selain karena itu, biasanya kampus terbaik memiliki kurikulum, akreditasi, dan prodi yang lebih beragam sekaligus terbaik di bidangnya. Namun, ternyata ada juga beberapa anak yang memilih kampus berdasarkan warna almamater.
Beberapa hari lalu, saat sedang berselancar di media sosial, saya melihat ada seorang siswa SMA yang membagikan pengalamannya memilih kampus untuk kuliah. Uniknya, dia ternyata memilih kampus berdasarkan warna almamater yang disukainya. Kolom komentar berisi candaan hingga salah satu berkomentar bahwa apa yang dilakukannya adalah almetshaming. Plesetan dari bodyshaming, karena itu izinkan untuk seterusnya kita sebut fenomena ini sebagai almetshaming.
Pertama-tama, almetshaming merupakan sebuah kondisi atau keadaan dimana siswa-siswi SMA yang hendak kuliah memilih kampus berdasarkan almamaternya, khusus kali ini berfokus pada pilihan warna almamater. Kedua, dikarenakan fenomena ini ada beberapa yang menganggap bahwa universitas terbaik menjadi biasa saja dikarenakan warna almamater yang tak sesuai selera mereka.
Ada yang menolak masuk UGM karena warna almetnya yang dinggap tidak catchy, kurang menarik, dan sedikit pudar. Ada yang menolak masuk UI karena warna kuning pada almetnya yang dianggap terlalu nge-jreng, agak norak, dan mencolok. Ada yang menolak masuk ITB, UNDIP, dan UNPAD karena warna almetnya sama, yaitu biru. Ada yang menolak masuk UIN atau UNAND karena tidak cocok dengan warna hijau di almetnya. Ada yang ogah masuk UNS karena warna biru muda pada almet yang terlalu berlebihan.
Tenang, tidak ada unsur menyalahkan di sini. Jika kamu pernah menjadi salah satunya, maka tidak apa-apa. Disini kita membedah bersama-sama tentang fenomena sosial yang mungkin saja hanya terjadi di negeri +62 ini. Dalam pembahasan ini nantinya akan muncul dua sekte yang berbeda pendapat.
Sekte pertama, adalah mereka yang mendukung fenomena ini. Biasanya sekte ini diisi dengan anak yang berkelas, fashionable, trendy, dan lumayan gaul. Mereka percaya bahwa warna almet dapat memengaruhi kinerja kuliah mereka di kampus nantinya.
Misalnya begini, ada orang yang tidak suka dengan warna kuning. Lalu kebetulan dia malah diterima di kampus yang almetnya bewarna kuning. Maka bisa saja dia menjadi loyo, lesu, tidak semangat, bahkan sampai stress karena memikirkan warna kuning. Dia mulai tertekan karena harus memakai almet itu, meskipun tidak dipakai setiap hari namun itu menjadi beban tersendiri. Efek buruknya? Oh, bisa saja dia menjadi malas kuliah dan lambat lulus.
Sekte kedua, adalah mereka yang bodo amat dengan hal ini. Bagi mereka kuliah itu sendiri jauh lebih penting daripada memikirkan warna almet. Biasanya sekte ini diisi dengan anak-anak yang ambis, cuek, kalem, dan lebih rasional. Mereka percaya bahwa warna almet hanya bagian kecil dalam perkuliahan yang tidak akan pernah mempengaruhi kinerja mereka di kampus.
Mereka meyakini bahwa kehidupan kuliah harus diisi dengan kegiatan yang bermanfaat dan berguna untuk orang di sekitarnya. Seperti hadir di kelas tepat waktu, rajin ikut lomba, gabung organisasi, mendaftar magang, membuat skripsi, dan cari kerja.
Contohnya seperti ini, ada anak yang menyukai warna kuning, secara kebetulan dia malah diterima di kampus yang menggunakan warna kuning untuk almetnya. Baginya, itu bukan masalah. Cuma bonus kecil saja setelah diterima di kampus. Efek baiknya? Kehidupan kuliahnya akan aman serta nyaman.
Jangan khawatir, di sekte apapun anda berada tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Semua ini hanya masalah perspektif dan sudut pandang setiap individu saja. Bagi sebagian orang, menuruti selera itu penting. Untuk beberapa orang, selera tidak terlalu penting sebab yang penting itu adalah prosesnya.
Maka dari itu hiduplah sesuai perspektif anda. Selama tidak menyakiti siapapun maka lanjutkan. Tapi setelah dipikir-pikir unik juga bila sungguh ada orang di luar sana yang memilih kampus berdasarkan warna almet. Pasti mereka orang yang perfeksionis dan berjiwa pebisnis sejati.