Perempuan diasosiasikan dengan cinta, kelembutan, kehangatan, kasih sayang, serta jiwa keibuan yang secara alami akan muncul seiring bertambahnya kematangan usia. Hal ini dipengaruhi oleh bawaan naluriah yang diturunkan nenek moyang mereka.
Puluhan ribu tahun lalu, perempuan yang sudah beranjak dewasa dipinang untuk dijadikan seorang istri dan untuk memberikan keturunan. Kemampuan dasar perempuan dewasa dalam memberikan kepekaan dalam rumah tangga dibutuhkan terutama dalam proses tumbuh kembang anak-anaknya. Kemampuan tersebut merupakan tanda bahwa perempuan yang beranjak dewasa siap untuk menjadi wanita seutuhnya.
Sejak zaman purba, naluri wanita dalam memahami bahasa tubuh, nada suara dan membaca sikap membuatnya sensitif dalam menjaga tempat tinggalnya disaat para pria pergi berburu mencari makan. Para wanita lebih mudah mendeteksi apakah binatang yang sedang mendekati sarangnya dapat mengancam keselamatan dirinya dan anak-anaknya.
Sifat alami yang dimiliki wanita memposisikan diri mereka sebagai “Pelindung Rumah” selagi pria sibuk berada di luar rumah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun seiring berkembangnya zaman, label tersebut sudah tidak lagi digunakan. Kebutuhan dan pola pikir yang selalu berubah memberikan kesempatan kepada wanita untuk mendapatkan kedudukan dan hak yang setara dengan pria.
Tidak hanya berfokus dalam mendidik anak-anaknya, kini para wanita juga dapat mengeksplorasi dan berfokus pada kariernya baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk membantu pasangannya secara finansial. Sayangnya, hal tersebut mengharuskan perempuan untuk memiliki peran ganda.
Peran ganda mengharuskan wanita untuk memiliki kapabilitas dalam bekerja lebih keras. Peran ganda ini yang nantinya akan menjadi salah satu pemicu dan faktor terbesar wanita mengalami burn-out. Tekanan pekerjaan dan tugas domestik yang mereka hadapi secara tidak disadari mempengaruhi mereka dari sisi psikologis. Wanita akan rentan mengalami stress, perubahan emosional yang ekstrim, dan lebih parahnya, hal ini akan membawa dampak yang cukup serius bagi kesehatan fisik dan mental wanita, khususnya para ibu.
Sistem Sosial dan Kesalahan Cara Berpikir
Latar belakang pendidikan, pola asuh dan lingkungan seseorang menentukan karakteristik dan cara berpikirnya. Seseorang yang dibesarkan dalam keluarga di mana peran ayah menjadi sosok yang dominan cenderung beranggapan bahwa kepentingan laki-laki berhak diutamakan.
Sosok ayah dengan karakter self-centered atau berkepribadian narsistik seringkali enggan melibatkan istrinya dalam mengambil keputusan, menguasai segala aspek dalam rumah tangga, dan menganggap dirinya superior. Karakter ini tentu dapat membawa dampak buruk bagi keharmonisan rumah tangganya. Jika dijustifikasi, karakter ayah seperti ini dikhawatirkan dapat mendorong sang anak untuk meniru cara ayahnya dalam memperlakukan ibunya.
Siklus ini akan terus berulang jika tidak ada keinginan untuk saling memahami. Ironisnya, sampai saat ini masih ada kalangan yang memiliki perspektif bahwa terlepas dari menanggung pekerjaan di luar rumah, wanita wajib mengurus segala pekerjaan domestik tanpa mengharapkan campur tangan dari suaminya.
Kurangnya Dukungan dari Pasangan
Tidak sedikit orang-orang yang beranggapan bahwa wanita dapat mengerjakan pekerjaan domestik jauh lebih unggul daripada pria. Namun, hal tersebut bukan berarti pria bebas dari tanggung jawabnya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika wanita dilanda banyak tuntutan pekerjaan dan tuntutan rumah tangga yang harus segera diselesaikan, seringkali mereka tidak mendapatkan cukup perhatian dan dukungan dari pasangannya.
Wanita karier yang sudah berkeluarga acap kali mendapat stereotip memiliki peran ganda. Nyatanya, “peran ganda” ini seharusnya menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, baik wanita maupun pria. Sementara itu, perlu disadari bahwa melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan membersihkan rumah adalah bagian dari basic life skill yang perlu dikuasai setiap individu.
Seorang suami, terlebih setelah menjadi seorang ayah, juga bertanggung jawab untuk ikut andil dalam pembagian tugas domestik. Namun, tidak dapat disangkal bahwa realita saat ini masih banyak wanita yang cenderung memiliki beban yang lebih berat, terutama dalam hal mengurus anak. Padahal, melakukan pekerjaan domestik dan membesarkan anak adalah tanggung jawab kedua belah pihak sebagai orang tua, bukan hanya wanita saja.
Kesetaraan yang Tidak Merata
Penerapan work-life balance dengan sempurna memungkinkan seseorang untuk memprioritaskan karier tanpa harus meninggalkan kehidupan berkeluarga. Negara-negara Skandinavia seperti Swedia dan Denmark dapat menjadi contoh negara yang menerapkan kebijakan tersebut.
Orang Skandinavia memiliki prinsip bahwa karena diperlukan dua orang untuk membuat bayi, maka kewajiban untuk membesarkan bayi itu harus dibagi rata sehingga tidak ada ibu yang merasa terbebani. Orang tua di Swedia berhak menerima cuti berbayar selama 480 hari cuti setiap kelahiran anak dan cuti ini dibagi antara kedua orang tua. Masing-masing berhak menerima 90 hari cuti yang tidak bisa dialihkan kepada pasangannya. Tidak hanya itu, mereka juga berhak mendapat 60 hari cuti per tahun untuk merawat anak di bawah 12 tahun yang sakit.
Di Denmark, menciptakan keseimbangan antara kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan bukan lagi menjadi hal yang mustahil untuk direalisasikan. Budaya orang Denmark sangat menghargai kebersamaan. Para pekerja di Denmark dapat meninggalkan kantor pukul 5 sore. Mereka juga tidak perlu khawatir akan urusan pekerjaan di luar jam kerja atau di akhir pekan. Sisa waktu mereka dapat digunakan untuk menjemput anak-anak dan mengurus pekerjaan rumah.