Kontribusi Membangun Pemberdayaan: Upaya Mendobrak Stigma terhadap Wanita

Hernawan | Rizqiyya Shabrina
Kontribusi Membangun Pemberdayaan: Upaya Mendobrak Stigma terhadap Wanita
Ilustrasi wanita (Unsplash.com/Natalie Hua)

Stigma merupakan sebuah pandangan negatif yang umumnya tercipta dari konstruksi sosial masyarakat. Tidak jarang, pandangan negatif ini masih diberikan kepada wanita bahkan setelah Raden Ajeng Kartini membawa perubahan yang sangat besar demi mempermudah kaum perempuan dalam mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Stigma yang masih diwariskan membatasi ruang gerak kaum perempuan dalam mengembangkan dirinya. Fenomena ini menyadarkan kita bahwa gerakan positif dalam mendobrak stigma terhadap wanita perlu digaungkan.

Partisipasi masyarakat, terutama kaum perempuan muda, memegang peranan penting untuk menghapus sentimen-sentimen negatif yang melekat pada diri wanita hingga saat ini. Penulis akan memaparkan segala bentuk kontribusi dan upaya efektif yang pernah dilakukan dalam rangka mendobrak stigma tersebut yang juga dapat dipraktekkan oleh semua kalangan.

Memaksimalkan Sarana Edukasi

Pendidikan menjadi hal yang seharusnya dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa memandang gender, status sosial, kelas ekonomi, atau ras dan etnis. Berkat jasa R.A. Kartini dalam menyuarakan hak-hak wanita, kini banyak wanita yang terdorong untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.

Sayangnya, perempuan berpendidikan tinggi masih dipandang sebelah mata karena adanya ungkapan “Untuk apa wanita berpendidikan tinggi jika nanti hanya akan bergelut dengan urusan dapur, sumur, dan kasur?”. Padahal, semakin banyak individu yang berpendidikan tinggi memberikan peluang besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Seruan untuk memberdayakan perempuan di bidang pendidikan dapat dilakukan dengan mengedukasi bahwa setiap golongan wajib mengenyam pendidikan formal. Di Indonesia sendiri, seluruh warga negara wajib mengikuti pendidikan formal selama 12 tahun. Edukasi mengenai kewajiban mengenyam pendidikan lewat proses sosialisasi baik verbal maupun digital menjadi pilihan yang tepat. 

Sebagian besar masyarakat modern pastinya menggunakan sosial media. Sosial media berperan aktif dalam menjembatani kita dengan audience. Oleh karena itu, sosialisasi melalui platform sosial media dipaparkan dalam bentuk konten-konten edukatif dan informatif yang menyuarakan hak-hak wanita dalam mengenyam pendidikan untuk menghapus stigma. Adapun sosialisasi yang dilakukan secara verbal dapat dilaksanakan melalui pemberian materi dalam aktivitas luring.

Kepemimpinan dan Prestasi

Orang-orang yang berkecimpung di dunia politik dan pemerintahan cenderung didominasi oleh laki-laki. Masih banyak negara-negara yang membatasi eksistensi wanita dalam menduduki kursi parlemen. Hal ini dipengaruhi oleh stigma yang memandang bahwa laki-laki lebih bijak dalam memimpin sebuah urusan, sedangkan perempuan mengutamakan perasaan dan bawaan emosionalnya sehingga dianggap kurang bijak dalam memimpin. Contoh lainnya yang biasa kita temui sehari-hari adalah bagaimana masyarakat memberikan akses yang lebih luas kepada laki-laki dalam mengatur sebuah sistem, menerapkan kebijakan, dan memiliki jabatan yang lebih unggul.

Ungkapan bahwa perempuan cenderung mengutamakan perasaan daripada pikiran dalam mengambil sebuah keputusan tidak selamanya benar. Faktanya, banyak wanita yang sukses menjadi pemimpin dunia dengan mengedepankan nilai demokratis dalam kepemimpinannya. Wanita juga manusia yang memiliki hak untuk menyuarakan pendapat dan aspirasinya patut didengar.

Oleh sebab itu, penulis berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang melibatkan kepemimpinan dengan mengikuti konferensi atau program sosial. Penulis percaya bahwa keikutsertaan kaum perempuan dalam memajukan pembangunan berkelanjutan mendorong semangat untuk meraih sebuah pencapaian. Stigma yang berlaku juga dapat disingkirkan dengan membawa prestasi sebagai bukti bahwa wanita layak mendapatkan kedudukan dan junjungan yang setara dengan pria.

Penerapan Work-life Balance

Penerapan kehidupan pekerjaan yang seimbang dengan kehidupan di luar pekerjaan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan dalam mendobrak stigma. Work-life balance dipandang sebagai sesuatu yang sulit direalisasikan.

Nyatanya, sistem ini justru memudahkan kedua belah pihak dalam hubungan pernikahan, baik wanita maupun pria, sehingga mereka dapat mengerjakan tugas domestik dengan lebih terorganisir. Tidak hanya itu, secara tidak langsung work-life balance juga mengajarkan masyarakat untuk mengimplementasikan kesetaraan gender di luar pekerjaan.

Wanita kerap dituntut untuk dapat mengurus pekerjaan rumah tangga dengan kompeten, sementara ia juga harus memprioritaskan kehidupan karirnya disaat yang bersamaan. Di sini lah penerapan work-life balance berperan penting. Penerapan ini dapat dimulai dengan mengatur jadwal serta pembagian pekerjaan rumah tangga dengan pasangan.

Contohnya, jika pihak wanita yang bertugas memasak dan menyiapkan makanan setelah pulang dari kantor, maka pihak pria dapat memberikan bantuan dengan menjemput anak pulang sekolah atau mengurus pekerjaan rumah tangga lain. Hal ini juga dapat berlaku sebaliknya. Kehidupan pernikahan pun akan menjadi lebih stabil dan lebih mudah dijalani.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak