Maraknya pernikahan dini semakin mengkhawatirkan. Menikah kerap kali dijadikan patokan untuk mengukur tingkat kebahagiaan. Padahal mengarungi bahtera rumah tangga, tak semudah yang dipikirkan. Ada begitu banyak persiapan yang harus dilakukan.
Pada dasarnya, urusan finansial memang faktor utama dalam bekal menjalani biduk rumah tangga. Namun, faktor pendukung yang tak kalah penting yakni, kesiapan emosional dan spiritual.
Mengutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 516.334 kasus. Angka ini kembali meningkat sebesar 15,31% dibandingkan pada 2021 yang mencapai 447.743 kasus.
BACA JUGA: Merindu Gagasan Calon Presiden Kita
Diketahui, pada tahun 2020 angka perceraian mencapai 291.677 kasus. Kemudian, mengalami peningkatan 53,5% pada tahun 2021 mencapai 447.743 kasus.
Berdasarkan data tersebut, hal ini menjadi arti bahwa sejatinya pernikahan bukan hanya persoalan ijab kabul semata. Akan tetapi, perlu dijadikan renungan secara matang sebelum memutuskan melangsungkan akad pernikahan.
Adapun, laporan data statistik sepanjang tahun 2021 menunjukkan kasus perceraian nomor pertama disebabkan faktor perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus 279.205 kasus. Dilanjut, faktor kedua karena alasan ekonomi, yaitu sebanyak 113.343 kasus.
Lalu, faktor ketiga sebanyak 42. 387 kasus dilatarbelakangi dengan meninggalkan salah satu pihak. Faktor lainnya seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 4.779, mabuk 1.779 kasus, murtad 1.447 kasus.
BACA JUGA: Melihat Potensi Kerusakan Lingkungan Pascakonser Coldplay di Indonesia
Isu Pernikahan Dini
Di sisi lain, pernikahan dini menjadi salah satu penyebab tingginya kasus perceraian. Tidak dapat dipungkiri fenomena pernikahan dini masih sering terjadi dikalangan masyarakat Indonesia.
Melansir dari situs Mahkamah Agung Republik Indonesia, sejak tahun 2019 sampai akhir tahun 2021 kasus pernikahan dini di Indonesia terus meningkat. Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) naik sekitar 30% setiap tahunnya.
Selaras dengan data website resmi Kemen PPPA, berdasarkan hasil data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia anak, tahun 2021 tercatat sebanyak 65 ribu kasus dan tahun 2022 tercatat 55 ribu pengajuan.
BACA JUGA: Ancaman Pidana Bagi Orang yang Mengunggah Video Asusila ke Media Sosial
Dimana pengajuan permohonan menikah pada usia dini terbanyak disebabkan faktor pemohon perempuan sudah hamil di luar nikah. Selain itu, faktor dorongan dari orangtua yang menginginkan anak mereka segera menikah karena memiliki kekasih/pacar.
Adapula, faktor lain yang mempengaruhi pernikahan di usia dini, di antaranya faktor pola asuh keluarga, kesehatan, ekonomi, kemudahan akses informasi, adat dan budaya, pendidikan, agama, hingga hukum.
Menurut Undang-Undang (UU) tentang pernikahan, UU Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan batas usia pernikahan laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Batasan usia ini bertujuan untuk melindungi kesehatan calon pengantin pada usia yang masih muda.
Tingginya angka usia pernikahan dini perlu menjadi perhatian serius. Pasalnya, hal ini turut berdampak pada kualitas generasi di masa mendatang.
Di samping itu, pernikahan dini juga ambil bagian dari penyumbang angka kasus perceraian di Indonesia karena kurangnya persiapan dalam membina rumah tangga.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS