Istilah Electronic Government atau dapat disingkat menjadi E-Government bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Konsep tersebut sudah dikenal sejak awal tahun 2000 dan masih senantiasa berkembang hingga saat ini dalam tujuan untuk menciptakan good governance pada sistem pemerintahan.
Good Governance sendiri mengacu ke dalam beberapa hal, yaitu efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya yang tersedia, transparansi informasi yang memadai pada proses dan pelaksanaan kebijakan oleh pemerintah, akuntabilitas atau tanggung jawab dalam perencanaan dan pelaksanaan, dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan kebijakan.
Kembali lagi kepada E-Government, mungkin masih banyak dari kita yang belum memahami makna atau konsep dari E-Government itu sendiri. Menurut United Nations didalam Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia (2018) mengatakan bahwa E-Government merupakan suatu penggunaan jaringan internet yang digunakan dalam melakukan penyebarluasan informasi dan pelayanan pemerintah untuk masyarakat.
E-Government merupakan penggunaan teknologi untuk menunjang aktivitas di pemerintahan, di mana pada penggunaan E-Government ini dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat.
Pelaksanaan E-Government di Indonesia dilandasi oleh Instruksi Presiden No. 6 tahun 2001 mengenai Telekomunikasi, Media, dan Informatika yang menunjukkan bahwa pemerintah harus mengadopsi teknologi untuk mendukung terciptanya good governance pada seluruh lembaga pemerintahan.
Lebih lanjut, terdapat Instruksi Presiden RI No. 3 Tahun 2003 mengenai Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government di Indonesia. Adanya berbagai regulasi tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia sudah memiliki komitmen sejak lama dalam mengupayakan penyelenggaraan dan akselerasi E-Government di Indonesia.
Tentunya masih terdapat banyak pihak yang mempertanyakan bagaimana urgensi dari penyelenggaraan E-Government, mengingat tidak sedikit masyarakat yang belum kenal terhadap konsep ataupun implementasi dari E-Government.
Untuk menjawab hal tersebut, maka kita dapat melihat beberapa urgensi akselerasi E-Government di Indonesia dari adanya berbagai inefisiensi yang terjadi pada sistem pemerintahan, di mana inefisiensi tersebut tidak hanya terjadi pada aktivitas yang bersifat internal, tetapi juga aktivitas yang bersifat eksternal dengan melibatkan seluruh masyarakat.
Inefisiensi tersebut tidak hanya terjadi pada segi biaya yang perlu dikeluarkan, tetapi juga waktu yang dihabiskan oleh masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik dan para pegawai pemerintah dalam melakukan pekerjaan internal.
Adanya inefisiensi biaya dapat terlihat dari korupsi yang dilakukan oleh oknum tertentu pada lembaga pemerintahan di Indonesia yang membuat terdapat pihak-pihak yang dirugikan.
Menurut Transparency International (TI) Indonesia, CPI Indonesia sebesar 34/100 atau berada pada urutan 110 dari 180 negara. Indonesia hanya mampu menaikkan CPI sebesar 2 poin sejak 2012. Hal tersebut menandakan bahwa praktik korupsi masih menjadi tantangan yang besar dalam terciptanya good governance pada pemerintahan di Indonesia.
Kemudian, inefisiensi waktu dapat terlihat dari banyaknya waktu yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam melakukan pendataan yang tidak terintegrasi dengan teknologi dan inefisiensi waktu bagi masyarakat dengan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk memperoleh pelayanan publik dan layanan pengaduan kepada pemerintah.
Adanya adopsi teknologi pada pemerintahan atau yang disebut dengan E-Government tentunya menjadi kabar baik dengan kemampuan memberikan berbagai kemudahan, baik untuk tata kelola pemerintah yang bersifat internal maupun eksternal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat diharapkan dapat menghindari terjadinya praktik korupsi oleh oknum-oknum tertentu dan menciptakan adanya tata kelola yang bersifat good governance dengan terjadinya efisiensi dan efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Potensi E-Government
Potensi E-Government Indonesia dapat dilihat dari tingginya penetrasi internet di Indonesia, di mana pada hasil Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencapai 78,19% atau mencapai 215.626.156 jiwa dari total populasi sebesar 275.773.901 pada 2023 di Indonesia.
Terlebih lagi, AFTECH (2021) mengatakan bahwa Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi, yaitu keadaan di mana melimpahnya usia produktif (usia 15-64 tahun) dibandingkan dengan usia tidak produktif (usia dibawah 15 tahun dan usia diatas 64 tahun).
Bonus demografi diprediksi mencapai 200 juta dari 294 juta penduduk Indonesia akan berada di usia produktif pada tahun 2030 yang diasumsikan menjadi lebih peka terhadap adopsi teknologi pada E-Government. Selain itu, menurut UNDP didalam Kemnaker (2021) E-Government Indonesia menempati posisi ke 88 dan mengalami peningkatan sebesar 19 peringkat dibandingkan pada tahun 2018 pada urutan 107.
Saat ini, sudah terdapat berbagai lembaga pemerintahan yang mengadopsi E-Government, misalnya aplikasi MANTRA yang telah digunakan oleh Kementerian Luar Negeri, Ditjen Pajak, LKPP, hingga pada tingkat pemerintah kota seperti Pemerintah Kota Pekalongan dan Pemprov Jawa Barat.
Selain itu, berbagai regulasi yang telah dilakukan oleh pemerintah pun mendukung akselerasi E-Government di Indonesia, seperti regulasi pada Undang- Undang No. 11 Tahun 2020 mengenai sistem Online Single Submission Risk Based Approach (OSS-RBA) yang membuat perizinan usaha dapat dilakukan secara online dan menyesuaikan dengan tingkatan usaha yang dimiliki, di mana semakin kecil skala suatu usaha maka akan semakin mudah untuk memperoleh perizinan, dan sebaliknya.
Adanya ketetapan tersebut diharapkan dapat membuat efisiensi dalam pelayanan publik berupa perizinan usaha dan diharapkan pula dapat menghindari berbagai kesempatan tatap muka untuk melakukan aksi penyuapan atau korupsi pada pelayanan publik. Hal tersebut akan membuat aktivitas antara masyarakat dengan pemerintah menjadi efisien dan efektif dalam segi biaya dan tujuan yang dicapai.
Tidak hanya efisien dan efektif, adanya regulasi tersebut dapat membuat lembaga pemerintahan menjadi lebih akuntabilitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya, regulasi dan sistem E-Government dapat pula memberikan transparansi informasi kepada seluruh masyarakat. Misalnya, saat ini berbagai lembaga pemerintahan, salah satunya Kementerian Ketenagakerjaan telah memberikan informasi yang transparan terkait pendataan yang dimiliki, salah satunya terkait distribusi Kartu Prakerja hingga saat ini.
Adanya transparansi membuat partisipasi masyarakat menjadi meningkat, di mana masyarakat dapat mengetahui dan menganalisis berbagai kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah apakah sudah tepat sasaran atau belum.
Tidak hanya pada tingkat kementerian saja, terdapat pula aplikasi Sistem Manajemen Data Aset (SIMATA) yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk melakukan proses pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), mulai dari proses penatausahaan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penghapusan, hingga pemindahtanganan BMD yang dapat diakses secara online oleh pengguna BMD, pengelola BMD, pejabat penatausahaan, investor, dan seluruh masyarakat.
Adanya aplikasi SIMATA membuat seluruh proses pengelolaan BMD menjadi lebih berkualitas dengan terciptanya good governance berupa efektif dan efisien dalam segi biaya dan waktu, transparansi informasi mengenai BMD kepada seluruh pihak yang bersangkutan, akuntabilitas yang lebih baik dari para pengurus pengelolaan BMD, hingga membuat partisipasi masyarakat menjadi lebih besar dalam proses pemanfaatan hingga evaluasi dari pengelolaan BMD.
Melihat berbagai adopsi teknologi yang telah dilakukan oleh lembaga pemerintahan, mulai dari pemerintah provinsi, seperti Pemerintah Provinsi Jawa Timur hingga kementerian, seperti Kementerian Ketenagakerjaan sangat menunjukkan bahwa praktik E-Government memang hal yang bersifat urgent untuk diadopsi oleh seluruh lembaga pemerintahan dalam upaya menciptakan good governance di Indonesia. .
Tantangan E-Government
Potensi E-Government yang besar di Indonesia tidak menutup adanya berbagai tantangan yang masih perlu diperhatikan oleh pemerintah. Tantangan tersebut meliputi ketersediaan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di seluruh Indonesia, terjadinya kesenjangan literasi dan edukasi terhadap internet untuk E-Government, dan adanya perbedaan kepentingan yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Masalah infrastruktur TIK merupakan hal yang serius.
Pada penelitian yang dilakukan oleh AFTECH (2021) menunjukkan terdapat kekurangan infrastruktur yang mapan pada pengadaan teknologi sebesar 68%. Kemudian, masalah kesenjangan akses internet dan literasi yang terdapat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh SMERU, University of Oxford, dan ESCAP (2022) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan penggunaan internet, d imana 46% penduduk Indonesia belum terhubung pada digitalisasi dan 82% masih terdapat kesenjangan dalam literasi teknologi.
Selain literasi kepada masyarakat, perlu pula adanya literasi berupa pelatihan atau bimbingan teknis kepada perangkat pemerintahan untuk menciptakan perangkat pemerintahan yang berkualitas dan mampu memanfaatkan fitur-fitur dalam E-Government.
Terakhir, masalah terkait perbedaan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, di mana CFDS mengatakan bahwa adanya E-Government akan membuat interaksi antara lembaga pemerintahan terhadap masyarakat menjadi berkurang karena pelayanan publik yang diberikan sudah terintegrasi dengan teknologi.
Hal tersebut membuat tidak sedikit masyarakat memiliki keluhan karena belum terlalu mengerti akan sistem dari E-Government itu sendiri. Tidak sedikit masyarakat yang masih menunjukkan sikap skeptis atau tidak percaya terhadap pelayanan publik melalui sistem E-Government meskipun di sisi lain mereka menginginkan terciptanya good governance pada tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik.
Terlebih lagi, pelayanan publik ataupun tata kelola seluruh data pada lembaga pemerintahan melalui E-Government tidak dapat menghindari terjadinya kejahatan lainnya seperti cybercrime atau penyalahgunaan data-data yang terdapat didalamnya. Hal tersebut tentunya merupakan tantangan akselerasi E-Government pada suatu negara.
Adanya tantangan tersebut harus diperhatikan oleh pemerintah, mengingat adanya E-Government dinilai mampu memberikan tata kelola pemerintahan dan layanan publik dengan menciptakan good governance, yaitu adanya transparansi akuntabilitas, partisipasi masyarakat, dan menciptakan efisiensi dan efektivitas pada pelayanan publik dan tata kelola lembaga pemerintahan di Indonesia.
Strategi Optimalisasi E-Government
Strategi yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan E-Government melalui beberapa strategi, seperti:
Pertama, penataan sistem pemerintahan melalui E-Government dengan lebih komprehensif. Di Indonesia, terdapat evaluasi pada Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang merupakan proses penilaian terhadap pelaksanaan SPBE pada instansi pusat dan pemerintah daerah untuk menghasilkan indeks SPBE yang akan memperlihatkan tingkatan pelaksanaan SPBE pada instansi pusat dan pemerintah daerah.
Indeks SPBE terdiri dari 5 kategori, yaitu <1,8 memiliki arti kurang, 1,8-<2,6 memiliki arti cukup, 2,6-<3,5 memiliki arti baik, 3,5-<4,2 memiliki arti sangat baik, dan 4,2-5,0 memiliki arti memuaskan. Adanya evaluasi tersebut bertujuan agar instansi pusat dan pemerintah daerah dapat mengetahui kinerja E-Government dan menjadi evaluasi untuk optimalisasi E-Government di masa depan.
Salah satu bentuk penataan pemerintahan melalui E-Government yang serius dapat dilihat dari salah satu kementerian, yaitu Kementerian Ketenagakerjaan yang melakukan berbagai kajian mendalam terkait E-Government yang sudah dijalankan. Ivan Lilin (2021) yang mengkaji kualitas fitur dan pelayanan E-Government agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker).
Sisnaker terdiri dari 16 layanan ketenagakerjaan yang terdiri dari 12 layanan teknis ketenagakerjaan dan 4 layanan dukungan, di mana seluruhnya diintegrasikan pada website kemnaker.go.id. Hasil kajian yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan terhadap sistem E-Government Sisnaker menunjukkan bahwa kualitas website memiliki pengaruh positif terhadap kepercayaan masyarakat dalam menggunakan Sisnaker.
Hasil tersebut mendorong Kementerian Ketenagakerjaan untuk senantiasa meningkatkan pelayanannya dengan memberikan kemudahan masyarakat dalam mengakses informasi dan menjangkau lebih banyak pengguna dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai manfaat Sinaker. Selain itu, pada evaluasi SPBE, E-Government Kementerian Ketenagakerjaan berhasil memperoleh peringkat yang baik.
Kedua, meningkatkan kualitas SDM agar lebih peka terhadap penggunaan teknologi. Peningkatan kualitas SDM tidak hanya penting pada sisi SDM di pemerintahan sebagai salah satu aktor E-Government, tetapi juga masyarakat luas sebagai pengguna layanan publik berbasis E-Government.
Salah satu contoh terdapat pada Kementerian Ketenagakerjaan melaksanakan Rakor Nasional untuk menciptakan sinergi dalam pengembangan kompetensi para ASN di Ketenagakerjaan. Hal tersebut juga merupakan bagian dari prioritas utama pembangunan nasional pada periode 2019-2024.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga melakukan evaluasi rutin untuk mengukur dan mengevaluasi hasil dari pelatihan yang telah diberikan kepada para ASN Ketenagakerjaan. Selanjutnya, selain ASN Kementerian, pemerintah juga melakukan berbagai program untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat Indonesia agar memahami teknologi dan dapat terintegrasi dengan sistem E-Government.
Tidak hanya Kementerian Ketenagakerjaan, pada tingkat pemerintah daerah pun senantiasa meningkatkan kualitas SDM mereka, misalnya pada pemerintah Kabupaten Minahasa yang melakukan bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas pengelolaan BMD agar mampu melakukan pengelolaan BMD yang terintegrasi dengan teknologi.
Ketiga, meningkatkan pembangunan infrastruktur Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) di berbagai wilayah untuk menciptakan E-Government yang inklusif. Dalam menciptakan hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan upaya yang serius dalam melakukan pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G untuk wilayah terluar, terdepan, hingga tertinggal di seluruh Indonesia.
Hingga saat ini, sudah terdapat 4.161 BTS 4G yang telah dikembangkan oleh Kominfo dan akan senantiasa bertambah hingga mencapai target 9.113 titik pada tahun 2024. Tidak hanya konektivitas 4G, pemerintah juga kini sedang berupaya mengakselerasi 5G di Indonesia yang diharapkan mampu mendorong berbagai sektor, termasuk E-Government. Komitmen pemerintah terhadap hal tersebut dapat dilihat dari adanya regulasi pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang didalamnya mengatur amandemen penting terhadap beberapa sektor, salah satunya sektor telekomunikasi.
Undang-Undang tersebut mencakup perubahan pada Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi yang diantaranya mengatur mengenai optimalisasi penggunaan spektrum frekuensi radio, termasuk penggunaan konektivitas 5G di Indonesia.
Lebih lanjut, upaya pemerintah mengoptimalisasikan 5G karena konektivitas jaringan 5G dinilai memiliki berbagai keunggulan, seperti mampu memberikan kemudahan bagi para penggunanya dalam jaringan dan kapasitas data yang lebih tinggi dibandingkan konektivitas sebelumnya. Adanya pembangunan infrastruktur yang merata diharapkan mampu membuat seluruh pemerintah dan masyarakat Indonesia terintegrasi dengan E-Government dengan lebih baik.
Dengan demikian, E-Government merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diterapkan oleh lembaga pemerintahan di Indonesia dalam menciptakan good governance. Perlu adanya perhatian khusus terkait berbagai tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan E-Government, agar pelaksanaan E-Government di Indonesia dapat berjalan secara optimal dan mampu mencapai tujuan yang ingin dicapai, yaitu good governance pada lembaga pemerintahan.