Indonesia berkomitmen kuat untuk turut andil dalam menanggulangi perubahan iklim yang menjadi permasalahan global. Perubahan iklim telah memberikan dampak besar dan signifikan terhadap kondisi bumi yang berimbas pada gangguan ekosistem dan berbagai aspek kehidupan. Dampak perubahan iklim memicu kondisi ekstrem yang menyebabkan banyak bencana besar hidrometeorologi yang seringkali tidak terprediksi.
Tahun 2021 lali, diadakan pertemuan COP 26 di mana para pemimpin dunia bertemu dan berdiskusi terkait dampak perubahan iklim yang telah menimbulkan berbagai bencana besar dan menelan kerugian begitu besar.
Mayoritas negara yang hadir sepakat untuk berkomitmen dalam mengurangi emisi karbon hingga mencapai nol emisi karbon atau Net Zero Emission di tahun 2050. Tidak hanya itu, dari pertemuan tersebut juga muncul kesepakatan untuk menjaga suhu bumi agak tidak mengalami peningkatan melebihi 1,5 derajat Celsius.
Indonesia juga turut andil dalam komitmen pengurangan emisi karbon, salah satunya bertransformasi ke industri hijau. Sektor industri dan manufaktur menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi karbon. Hal ini karena sektor industri dan manufaktur masih bertumpu pada bahan bakar fosil yang mana dari aktivitas pembakarannya menghasilkan senyawa karbon yang langsung di buang bebas ke udara. Itulah yang membuat emisi karbon meningkat di bumi.
Transformasi industri hijau dipilih sebagai upaya dalam menekan jumlah emisi karbon untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Hanya saja, upaya tersebut tidaklah mudah. Berdasarkan Global Green Economy Index yang dikeluarkan oleh Dual Citizen, Indonesia menempati peringkat 154 dari 160 negara. Bahkan menjadi yang terendah di antara negara ASEAN pada tahun 2022.
Sejalan dengan fakta sebelumnya, publikasi dari MIT Technology Review Insight (2021) melalui The Green Future Index 2021, Indonesia dimasukkan dalam kelompok Climate Laggards. Kelompok tersebut merupakan kelompok negara dengan perbaikan ekosistem untuk perbaikan iklim yang relatif lambat. Kondisi tersebut menunjukkan Upaya transformasi hijau yang dilakukan Indonesia tergolong rendah dan memungkinkan tidak tercapainya target penurunan emisi di negara ini.
Hal tersebut dikarenakan pembiayaan dan pendanaan yang tidak mencukupi dalam mendukung tranformasi hijau. Permasalahan pendanaan menjadi masalah yang dialami banyak negara berkembang dalam upaya pencegahan krisis iklim.
Dalam siaran pers yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto seperti dikutip dalam ekon.go.id, dijelaskan bahwa pemerintah Indonesia mendorong berbagai instrumen seperti Green Sukuk dan juga beberapa pemanfaatan dari refinancing Green Sukuk dengan pengembangan pembangunan fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro dan minihidro.
“Instrumen alternatif seperti blended finance juga disiapkan, terutama skema pembiayaan dengan menampung dana dari filantropi atau swasta serta dari berbagai lembaga pengelola dana multinasional ataupun perencanaan seperti ADB atau World Bank. Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup juga telah didirikan untuk membantu pembiayaan pada program ekonomi hijau,” jelas Menko Airlangga.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan beberapa upaya dalam menyukseskan transformasi industri hijau di samping masalah pembiayaan, salah satunya adalah beralih menggunakan energi baru terbarukan. Hal tersebut diupayakan untuk menekan penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon. Penggunaan energi baru terbarukan terus digencarkan, terutama di sektor industri dan manufaktur sebagai salah satu sektor utama ekonomi Indonesia.