Memutus Rantai Perpeloncoan di Dunia Pendidikan Kedokteran

Hikmawan Firdaus | Ud'Hiyata Zahbi
Memutus Rantai Perpeloncoan di Dunia Pendidikan Kedokteran
Ilustrasi Dokter (Freepik/Senivpetro)

Kasus mahasiswa PPDS Anestesi Undip yang diduga melakukan bunuh diri pada hari Senin (12/8) lalu, menguak sisi gelap dunia pendidikan kedokteran yang selama ini tidak diketahui oleh publik. Pasalnya, mahasiswa tersebut diduga mendapatkan bullying sampai akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidup. Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya buku diary korban yang mengungkapkan bahwa dirinya tidak kuat menjadi mahasiswi PPDS, termasuk menyinggung seniornya.

Fakta-fakta mengejutkan lain terus dibeber oleh sejumlah dokter, di antaranya drg. Mirza, dr. Adisantoso, dr. Ndreamon, dan dr. Ningz. Sebagai teman sejawat dokter, mereka membenarkan adanya perpeloncoan yang terjadi di dunia kedokteran. Dalam Instagramnya, Drg. Mirza mengungkapkan perundungan yang dilakukan tidak hanya secara fisik ataupun verbal, tetapi juga secara materi dengan meminta bayar pajak hingga bayar cicilan mobil senior.

Setelah pertama kalinya membuka suara untuk kasus mahasiswa Undip, terbukalah kasus-kasus serupa yang dialami dokter yang menempuh PPDS. Bukti-bukti berupa chat dan cerita dari berbagai pihak terus diunggah oleh Drg. Mirza. Beliau juga mengungkapkan perpeloncoan yang terjadi tidak hanya menimpa para dokter muda, namun istri-istri mereka juga mengalami hal yang tidak wajar oleh istri senior residen.

Meski demikian, masih banyak dokter yang menyanggah apa yang dibeberkan oleh drg. Mirza tidak semuanya benar dan terlalu berlebihan. Menurutnya, tidak mengalami bukan berarti tidak ada. drg. Mirza tetap gencar untuk membuat masyarakat buka mata dan berharap agar perpeloncoan yang terjadi selama bertahun-tahun ini bisa berakhir.

Perpeloncoan adalah masalah laten pendidikan. Sering dianggap sebagai tradisi, juga sebagai “harga” yang harus dibayar seseorang untuk bisa gabung dengan komunitas barunya. Padalah perpeloncoan terbukti menghambat proses belajar-mengajar, bahkan membahayakan pesertanya.

“Mental siap sekolah tidak bisa disamakan dengan mental siap dibully”, ungkap Drg. Mirza dalam story Instagram-nya.

Perpeloncoan hadir menjadi momok menakutkan untuk menjadi manusia yang bebas dari tekanan dan intimidasi orang lain. Perpeloncoan yang dianggap sebagai latihan mental oleh pemuja senioritas ini, harus diputus rantainya agar tidak menambah korban. Ketika berada di tempat untuk belajar, kita harus menanggalkan segala pernak-pernik kekuasaan, kembali menjadi manusia sama-sama yang mengharap ilmu dan menjunjung tinggi akan pendidikan. Tidak ada lagi yang namanya senior maupun junior. Bukan karena telah lama belajar, lebih dulu berada di suatu tempat, atau sudah mendapatkan gelar yang tinggi mempunyai hak untuk merendahkan orang lain.

Dunia pendidikan, khususnya kedokteran yang saat ini sedang ramai dibicarakan, harusnya menjadi tempat yang menjunjung tinggi moralitas. Menanamkan sifat-sifat kemanusiaan, agar kedepannya saat terjun ke dalam masyarakat, seorang dokter tidak bekerja karena uang, tapi mampu mengobati karena keilmuannya dan memang sifat dasar manusia yang peduli akan orang yang sedang membutuhkan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak