Anak-anak kecil dan remaja yang kini sedang menikmati dunianya, perlu pedoman khusus yang menjadi landasan mereka belajar di sekolahnya. Landasan yang menjadi pedoman itu perlu digagas dan disusun oleh orang yang berpengalaman di bidang tersebut, bukan hanya kalimat-kalimat asal sebut. Bukan hanya inovasi yang dibahas, tapi praktiknya harus jelas dan lugas. Bukan hanya sekadar bicara, tapi juga harus terjun langsung mengawal konsep-konsep yang tertera.
Berbicara tentang pendidikan, erat kaitannya dengan kurikulum yang sudah menteri sahkan. Banyak kebingungan di dalam Kurikulum Merdeka, sehingga para guru dalam memahaminya masih menerka-nerka. Istilah-istilah dalam kurikulum diganti, padahal isi dan tujuannya tetap sama dalam tujuan dan inti. Untuk apa mengubah nama, jika beberapa isi masih sama. Untuk apa buru-buru mengganti, jika yang lama masih relevan dan berarti.
Dulu banyak orang setuju jika Ujian Nasional dihapus, berharap siswa-siswi berkonsentrasi mengembangkan potensi dan mencari minat mereka untuk bekal setelah lulus. Nyatanya semangat belajar mereka banyak yang terkikis, sehingga guru dalam mengajar menjadi mengkis-mengkis. Para siswa-siswi mungkin berpikir kenapa harus dapat nilai bagus, toh nantinya juga pasti lulus. Memang kebijakan diluluskan atau tidak kembali ke pihak sekolah, seolah-seolah pihak birokrasi di atas sana lepas tangan dengan kebijakan kurikulum yang sudah diolah.
Kebijakan yang seolah mengharuskan semua murid harus naik kelas, malah membuat mereka terkadang menjadi malas. Banyak murid seusia remaja ketika membaca masih mengeja. Padahal membaca adalah salah satu bekal mereka nantinya ketika bekerja. Apakah ini dampak dari kebijakan yang seolah mengharuskan mereka naik kelas? Apa memang kebijakan dari birokrasi atas kurang jelas dan kurang lugas? Saya berpikir tentang hal ini setelah selesai mengajar di kelas.
Apa yang terjadi sebenarnya? Anak-anak seusia mereka adalalah sebuah karunia. Mereka yang akan mewujudkan negara ini menjadi Indonesia Emas, bukan Indonesia Cemas. Para guru sudah pontang-panting mengajar dengan cara-cara agar dapat menyenangkan dalam belajar. Ada yang antusias, ada juga yang tangannya di wajah sibuk merias. Saya yakin bahwa mereka yakin akan lulus dengan mulus. Padahal dulu saat sekolah, saya dan teman-teman menganggap setiap mata pelajaran adalah adu kompetisi, mendapatkan nilai bagus adalah gengsi, dan mendapatkan nilai jelek adalah hal yang patut ditangisi.
Bapak Presiden yang sudah lengser dan yang akan menggeser. Ingatlah bahwa anak-anak Indonesia adalah sebuah dokumenter. Baik dan buruknya mereka menjadi tanggung jawab moral bagi Anda. Maka dari itu, jangan sembarangan memilih orang kepercayaan dan hindari menyetujui kebijakan pendidikan yang belum terselesaikan. Olah dan bahas kebijakan pendidikan dengan matang, jangan langsung setujui kemudian dihidangkan. Kami, generasi muda Indonesia membutuhkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada kami. Ingin rasanya merasakan kebijakan yang benar-benar membuat kami diayomi.
Ingatlah, Pak. Bahwa kurikulum pendidikan bukan ajang coba-coba. Tidak perlu meniru kurikulum dari negara lain dengan meraba-raba. Buatlah kebijakan yang baik, kaji dengan baik, tinjau kesiapan daerah-daerah dengan baik. Bukan langsung menginstruksi supaya bisa dilaksanakan, tapi belum ada kesiapan sehingga membuat awur-awuran. Kurikulum Merdeka semoga menjadi kurikulum yang benar-benar dibutuhkan generasi ini. Sehingga menjadikan mereka generasi yang cerdas, pintar, serta menghadapi tantangan zaman dengan gagah berani.
Saya sampaikan surat ini dari lubuk hati terdalam yang sementara masih bisa diselami. Semoga apa yang saya uraikan di atas bisa dibaca, dikaji, dan didalami. Semoga Bapak presiden selalu makmur serta panjang umur. Sehat selalu untuk pemimpinku yang baru dan yang lama, semoga dalam hal kebaikan bangsa selalu dalam satu irama.
Terima kasih, akan selalu saya doakan setelah untaian tasbih.