Surat Ini Tidak Penting: Non-Blok, Bebas Aktif, atau Bebas Bingung?

Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Surat Ini Tidak Penting: Non-Blok, Bebas Aktif, atau Bebas Bingung?
Ilustrasi menulis surat (Pexels/Castorly Stock)

Yang Terhormat Bapak Presiden Jokowi,

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih atas kerja keras Bapak dalam memimpin negeri ini selama hampir sepuluh tahun. Tidak bisa dipungkiri, Bapak telah membawa perubahan besar bagi Indonesia, mulai dari pembangunan infrastruktur yang pesat hingga peningkatan diplomasi internasional.

Namun, di tengah pujian itu, ada satu kebijakan yang tampaknya mulai goyah: kebijakan luar negeri bebas aktif. Dengan semakin dekatnya hubungan Indonesia dengan negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat, prinsip non-blok yang dulu diagungkan mulai terlihat kabur. Di sinilah masalahnya, Pak. Mari kita ulas lebih lanjut.

Non-Blok: Slogan Manis atau Hanya Basa-basi?

Ketika Indonesia menyatakan kebijakan luar negeri bebas aktif, yang terbayang adalah posisi netral yang teguh—tidak memihak negara adidaya mana pun.

Namun, realitanya, hubungan kita dengan China semakin mesra. Dari investasi hingga pembangunan infrastruktur, ketergantungan kita pada Negeri Tirai Bambu seperti menambah daftar "mantan" dalam hubungan non-blok ini. Rasanya slogan "bebas aktif" lebih cocok disebut "bebas tergantung," bukan?

Bukan hanya China, Pak, kedekatan Indonesia dengan Amerika Serikat juga mulai mengusik posisi non-blok yang selama ini kita pegang teguh.

Pertemuan-pertemuan strategis dengan Washington memang membawa banyak manfaat, tapi di sisi lain, posisi kita terlihat seperti mendua—menjaga hubungan baik dengan dua kekuatan besar sekaligus. Mungkin prinsip non-blok kita perlu diganti dengan prinsip "non-malu-maluin," supaya lebih relevan.

Apakah ini artinya Indonesia sebaiknya ambil sikap yang lebih jelas dan tegas, Pak? Atau, kita justru harus mengakui bahwa posisi non-blok sudah ketinggalan zaman di era globalisasi? Tentu saja, bukan berarti kita jadi plin-plan, tetapi posisi ini perlu lebih fleksibel untuk tetap relevan dengan kepentingan nasional.

Bebas Aktif, tapi Kok Jadi Bebas Bingung?

Pak Jokowi, kebijakan bebas aktif yang Bapak jalankan kadang seperti orang yang sedang cari perhatian di dua sisi. Di satu sisi, kita bilang tidak berpihak pada blok mana pun, tapi di sisi lain, kita terus menerima investasi dari China seperti tidak ada hari esok.

Amerika Serikat juga tidak kalah giatnya menarik kita ke sisi mereka, terutama dalam hal kerja sama pertahanan dan keamanan. Ini jadi seperti sedang "jalan sama dua orang," tapi sebenarnya belum ada yang serius.

Strategi bebas aktif yang Bapak pertahankan ini, sebenarnya lebih mirip seperti politik bebas bingung. Apakah kita benar-benar punya sikap? Atau kita hanya menunggu siapa yang paling banyak kasih insentif?

Indonesia memang tidak seharusnya jadi pihak yang terseret dalam persaingan dua adidaya, tapi setidaknya kita bisa lebih cerdik dalam memainkan peran, bukan hanya sekedar "ikut arus".

Bapak perlu mempertimbangkan untuk menyusun ulang arah kebijakan luar negeri kita. Apakah lebih baik jika Indonesia mengambil sikap yang lebih jelas untuk kepentingan nasional kita sendiri, atau tetap bermain aman di tengah dua kutub ini?

Pada akhirnya, kebijakan bebas aktif seharusnya berarti aktif dalam memperjuangkan kepentingan kita, bukan malah sibuk "bermain aman."

Harapan untuk Prabowo: Non-Blok Jangan Cuma Jadi Hiasan

Bapak Prabowo, jika nantinya Bapak berkesempatan memimpin negeri ini, kami berharap kebijakan luar negeri bebas aktif ini tidak hanya menjadi sekadar "hiasan dinding" di pidato-pidato politik.

Kita perlu lebih serius dalam memastikan bahwa kebijakan non-blok ini diterapkan dengan sebenar-benarnya, bukan hanya sebagai topeng untuk kebijakan yang sebenarnya condong ke satu pihak.

Jika Bapak Prabowo dapat mengambil alih, mungkin sudah saatnya Indonesia berani bersikap lebih tegas dan berani. Mungkin tidak harus memilih blok tertentu, tapi setidaknya kebijakan luar negeri kita punya tujuan yang jelas dan terukur. Harus ada indikator konkret bahwa kita tidak sedang "menggantung diri" pada China atau Amerika Serikat.

Non-blok seharusnya bukan berarti berdiri sendiri tanpa arah, melainkan bergerak aktif untuk kepentingan nasional yang lebih mandiri.

Menjaga hubungan baik dengan kedua negara besar itu tentu penting, tapi jangan sampai kita jadi pihak yang cuma bisa tersenyum sambil angguk-angguk. Sudah waktunya Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara bebas aktif, tapi juga sebagai negara yang bebas mandiri.

Non-Blok, Masihkah Relevan di Era Jokowi dan Prabowo?

Pak Jokowi dan Bapak Prabowo, kebijakan luar negeri non-blok kita memerlukan peninjauan ulang. Jangan sampai prinsip luhur ini hanya menjadi sekadar jargon yang dipajang, sementara kenyataannya kita justru semakin terikat pada hubungan ekonomi dengan negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat.

Non-blok yang sebenarnya bukan berarti berdiri sendiri tanpa bantuan, tetapi memastikan bahwa bantuan itu tidak membuat kita bergantung.

Pak Jokowi, kami akui, Bapak telah membawa Indonesia ke arah yang lebih maju, tetapi kebijakan luar negeri kita tidak boleh maju-mundur.

Bapak Prabowo, jika nantinya Bapak melanjutkan kepemimpinan, semoga dapat membawa kebijakan luar negeri yang lebih jelas arahnya. Non-blok bukanlah sekedar status diplomatik, melainkan cerminan dari kemandirian kita sebagai bangsa.

Salam hormat saya untuk kedua tokoh bangsa, dengan harapan besar untuk kepemimpinan yang lebih mandiri dan bebas dari pengaruh kekuatan asing. Mari kita sama-sama belajar dari pengalaman sepuluh tahun terakhir, untuk menyongsong masa depan yang lebih berdaulat dan adil.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak