Baru-baru ini, Suswono, Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1, meminta maaf atas polemik yang muncul lantaran celetukan kontroversialnya.
Celetukan Suswono yang viral—dan ia sebut sebagai kelakar menyebut jika seharusnya janda kaya menikahi pemuda pengangguran. Hal itu jelas menuai kecaman publik.
Lebih memprihatinkan lagi, Suswono juga memberikan contoh kasus tentang kisah Siti Khadijah yang menikahi Nabi Muhammad SAW. Dalam permintaan maafnya, Suswono mengaku hanya berkelakar saja. Sebuah alasan klasik para pejabat dan politikus asbun: asal bunyi.
Akan tetapi, rupanya bukan Suswono saja yang melontarkan celetukan bernada seksis dan bias gender. Sebut saja calon kepala daerah lainnya, seperti Dimyati Natakusumah, Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Banten.
Dimyati bahkan secara terang-terangan menyampaikan pernyataan bias gender itu di depan calon lawannya. Seperti inilah yang disampaikan Dimyati: “Wanita itu lebih harus mendapatkan perhatian, karena memang wanita itu spesial, maka kita harus melindungi wanita, ya, rasulullah juga mengatakan, bahwa yang memuliakan wanita itu akan mendapatkan kemuliaan, oleh sebab itu wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur itu berat, lho. Luar biasa. Maka sebab itu laki-lakilah harus membantu memaksimalkan bagaimana Banten ini maju.”
Sayangnya, bukan hanya secara verbal saja perdebatan dan keraguan atas kepemimpinan perempuan terjadi di Indonesia.
Di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pasangan calon bupati dan wakil bupati Harda Kiswaya-Danang Maharsa menyebarkan alat peraga kampanye yang bertuliskan bertuliskan kalimat "Milih imam (pemimpin) kok wedok. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) kudu lanang", kurang lebih artinya: memilih imam (pemimpin) kok perempuan, Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus laki-laki.
Sungguh miris, bukan? Betapa ucapan seksis, bias gender, dan diskriminatif yang keluar dari mulut-mulut calon kepala daerah seperti Suswono, Dimyati atau melalui alat peraga kampanye.
Fakta ini sesungguhnya semakin memperkuat norma-norma patriarkal yang membumi di masyarakat. Selama ini, perempuan selalu berada di posisi gender kedua, makhluk yang pantasnya hanya berada di ranah domestik (rumah tangga, mengasuh anak dsb) bukan di publik (menjadi pemimpin).
Padahal, keterwakilan perempuan dalam kontestasi di Pilkada sebenarnya cukup dinamis. Kalau boleh menyebut, lihat saja di tempat tinggal saya di provinsi Jawa Timur. Menariknya, calon gubernur kami ketiganya adalah para ”srikandi” terbaik dengan masing-masing wakilnya laki-laki.
Masing-masing adalah gubernur petahana, anggota DPRD dan mantan Menteri Sosial. Kiprah mereka tak diragukan lagi di kancah organisasi maupun publik.
Kalau dilihat dari kultur masyarakat Jawa Timur kental dengan kalangan Nahdliyin (salah satu organisasi masyarakat Islam), keterlibatan perempuan di ranah politik melalui contoh kasus Jawa Timur sebenarnya menujukkan pesan dan harapan positif.
Hal ini menandakan pula, daerah di Jawa Timur, sudah menunjukkan adanya inklusivitas dalam kepemimpinan. Selain itu, cukup beralasan karena di Jawa Timur sendiri, peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG) lebih tinggi dari rerata nasional.
Menurut data, IPG Provinsi Jawa Timur pada 2022 mencatatkan nilai 92,08, sedangkan nasional berada di 91,63. Hal ini berkaitan bahwa mereka sudah cukup mendapatkan edukasi dan literasi perihal kesetaraan gender. Artinya, di Provinsi Jawa Timur, persoalan memilih pemimpin bukan lagi berdebat soal jenis kelamin semata.
Sejatinya, kepemimpinan seseorang didasarkan pada melihat kapasitas dan kapabilitas calon. Hal ini seharusnya merupakan perkembangan positif pada aspek kesetaraan gender di Indonesia.
Dengan demikian, ke depannya, seleksi kandidat yang berbobot, terlebih peka dan sadar gender, kelembagaan partai rasanya harus segera ditinjau dan direvisi kembali.
Penutup
Dengan demikian, harapannya ke depan, tidak lagi muncul pernyataan-pernyataan bernada seksis dan bias gender dari calon kepala daerah. Ini tidak saja merugikan calon lawan yang memang perempuan, tetapi juga merugikan perempuan Indonesia secara umum.
Selama ini, melihat di kancah kontestasi politik di Jawa Timur, perempuan mendapatkan panggungnya dengan terlibat dalam pencalonan kepala daerah (gubernur).
Artinya, seharusnya bukan soal jenis kelamin mana yang pantas menjadi pemimpin, namun bagaimana kompetensi, visi, dan misi yang diusung oleh calon pemimpin tersebut. Selanjutnya, integritas serta dedikasi para perempuan pemimpin terhadap masyarakatlah yang utama.
Pernyataan calon kepala daerah sebagaimana diulas dalam tulisan ini sama sekali tidak menunjukkan adanya dorongan untuk mendukung kesetaraan gender. Namun sebaliknya bahwa patriarki terus mengakar dan dilanggengkan di ranah publik.
Sebagai calon kepala daerah yang akan menjalankan konstitusi dan amanat rakyat, sudah seharusnya memiliki cara pandang dan perspektif yang adil gender.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS