Transparansi Menjaga Demokrasi di Balik Layar Pemilu, Wacana atau Nyata?

Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Transparansi Menjaga Demokrasi di Balik Layar Pemilu, Wacana atau Nyata?
Ilustrasi politik [Pexels/Elemen5 Digital]

Pesta demokrasi lokal hari ini bukan hanya tentang siapa yang menang, namun juga tentang bagaimana proses berjalan.

Sering digadang-gadang sebagai cerminan kedaulatan pemilu, namun di balik layar, isu keamanan dan transparansi sering menjadi bayangan gelap yang tidak bisa diabaikan. Setiap pemilih berharap bahwa suara mereka benar-benar dihitung, tetapi apakah kenyataannya seindah itu?

Ketika kotak suara mulai terbuka, muncul pertanyaan besar: sejauh mana jaminan bahwa setiap kertas suara dihitung dengan benar? Dalam beberapa pemilu sebelumnya, kita mendengar laporan tentang manipulasi suara, dari praktik politik uang hingga penggelembungan data.

Meski penyelenggara pemilu mengklaim telah memperketat sistem, masyarakat tetap merasa curiga. Rasa waswas ini bukannya tanpa alasan, mengingat banyak kasus yang terungkap bertahun-tahun setelah pemilu selesai.

Kemajuan teknologi juga menambah lapisan kompleksitas. Di satu sisi, sistem berbasis digital seperti e-rekap dianggap meningkatkan efisiensi dan transparansi.

Namun di sisi lain, ancaman peretasan dan manipulasi data menjadi kekhawatiran baru. Dalam beberapa kasus internasional, bahkan pemilu di negara maju pun tak kebal dari serangan siber. Di Indonesia, apakah sistem kita cukup kuat untuk menangkal ancaman ini?

Transparansi juga menjadi isu krusial. Kata ini sering digaungkan, tetapi apakah praktiknya benar-benar diterapkan? Proses pemilu sering kali terasa eksklusif, dengan ruang-ruang yang sulit diakses oleh publik atau pengawas independen.

Padahal, semakin transparan prosesnya, semakin kecil peluang terjadinya kejadian. Pengawasan masyarakat, media, dan lembaga independen harus diperkuat untuk memastikan tidak ada ruang bagi pelanggaran.

Namun, semua ini tidak akan berjalan tanpa partisipasi masyarakat. Sayangnya, banyak yang masih memilih apatis terhadap proses ini.

Mereka merasa suara mereka tidak berpengaruh atau bahwa pemilu hanyalah formalitas belaka. Mengangkat pentingnya edukasi politik yang berkelanjutan, agar masyarakat memahami bahwa suara mereka adalah senjata demokrasi itu sangat penting.

Penyelenggara pemilu, peserta, dan masyarakat harus bekerja sama. Dari keterbukaan proses hingga pengawasan yang ketat, semua pihak memegang peran penting.

Keamanan dan transparansi bukanlah tugas satu pihak saja, melainkan tanggung jawab kolektif. Tanpa itu, pemilu hanya akan menjadi rutinitas tanpa makna.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak