Paradoks PPN 12%: Melindungi Rakyat Kecil atau Justru Menindas?

Sekar Anindyah Lamase | Sherly Azizah
Paradoks PPN 12%: Melindungi Rakyat Kecil atau Justru Menindas?
Ilustrasi rakyat kecil (pexels/Abhishek Gupta)

Kenaikan PPN jadi 12% mengusung janji besar: mendukung pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan. Tapi, jika kita lihat lebih dekat, ada paradoks yang tidak bisa diabaikan. Apakah kebijakan ini benar-benar ramah terhadap rakyat kecil, atau justru menjadi beban tambahan bagi mereka yang sudah hidup pas-pasan?

Rakyat kecil, terutama pekerja informal dan masyarakat rendah, merupakan kelompok yang paling terdampak. Dengan kenaikan PPN, harga barang kebutuhan pokok otomatis ikut naik, dari sembako hingga kebutuhan sehari-hari seperti sabun dan alat tulis. Padahal, kelompok ini sudah kesulitan bertahan di tengah tekanan ekonomi pascapandemi. Jadi, apakah adil meminta mereka membayar lebih untuk barang-barang yang selama ini jadi kebutuhan dasar?

Di sisi lain, pemerintah sering menyebut kenaikan PPN ini sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara. 

"Kenaikan PPN bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kualitas belanja negara, khususnya untuk sektor kesehatan dan pendidikan," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani, seperti dilansir dari Suara.com pada Rabu (25/12/2024).

Akan tetapi, janji seperti ini sudah sering kita dengar sebelumnya. Realisasinya? Masih jauh dari harapan. Banyak yang meragukan apakah dana hasil pajak benar-benar sampai ke tangan rakyat kecil.

Paradoks ini semakin terlihat jika kita membandingkannya dengan janji pemerintah untuk melindungi rakyat kecil. Saat kampanye atau pidato resmi, rakyat kecil selalu disebut sebagai prioritas. Namun kebijakan seperti kenaikan PPN justru menampilkan sebaliknya. Rakyat kecil merasa seperti mesin pendapatan negara, sementara mereka yang punya akses lebih besar ke kekayaan sering kali lolos dari pajak secara legal maupun ilegal.

Enggak sedikit yang berkomentar, kenapa pemerintah enggak fokus pada optimalisasi pajak dari sektor lain, seperti perusahaan besar atau pengusaha kaya yang selama ini sering mendapatkan fasilitas fiskal? Kenapa beban harus selalu jatuh ke rakyat kecil yang daya belinya sudah rendah? Hal ini menciptakan kesan bahwa kebijakan pajak lebih pro-korporasi dibandingkan pro-rakyat.

Sebenarnya, kebijakan ini bisa dianggap adil jika pemerintah mempunyai mekanisme infrastruktur yang jelas dan efektif. Misalnya, subsidi langsung untuk kelompok rendah atau insentif khusus untuk usaha kecil. Tapi, tanpa langkah konkret seperti itu, kenaikan PPN ini hanya akan menjadi bukti baru bahwa rakyat kecil lagi-lagi harus menyumbangkan kebutuhan mereka demi "kesejahteraan" yang mungkin hanya jadi mimpi kosong.

Jadi, apakah PPN 12% ini benar-benar mencerminkan kebijakan ramah rakyat? Atau ini hanya sekedar retorika pemerintah yang menempatkan mereka yang paling rentan? Paradoks ini akan terus jadi pembahasan, dan yang jelas, rakyat kecil berhak mendapatkan kejelasan lebih dari sekadar janji manis.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak