Bank Indonesia (BI) mulai 17 Agustus 2025, akan memberlakukan sistem Payment ID—sebuah kode unik yang terhubung langsung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Nantinya semua transaksi kamu, dari transfer antarbank, e-wallet, pinjaman online, sampai transaksi judi online, akan terhubung ke sistem ini.
Katanya, Payment ID adalah bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2030. Tujuannya untuk efisiensi data, deteksi penipuan, dan penilaian kredit yang lebih akurat.
Inilah bentuk pengawasan yang mungkin belum disadari banyak orang. Dengan Payment ID, semua gerak finansialmu akan punya jejak yang bisa ditelusuri, dikategorikan, diprofilkan. Si A terlalu sering top up game? Si B suka belanja tengah malam? Si C sering pinjam ke aplikasi ilegal? Semua itu akan bisa dianalisis.
Ada yang bilang, “Lah, kalau nggak salah, kenapa takut?” Tapi masalahnya, di dunia di mana persepsi bisa menentukan nasib, maka data bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal dikontrol atau dikorbankan. Siapa yang menentukan apakah gaya hidupmu wajar? Siapa yang tahu kenapa kamu pinjam uang bulan lalu? Sistem?
Ironisnya, negara bisa tahu sedetail itu tentang isi dompet warganya, tapi kita sebagai rakyat tidak pernah tahu ke mana sebenarnya uang negara dibelanjakan. Uang pajak kita. Uang hasil utang negara yang diwariskan ke generasi mendatang. Ke mana perginya?
Adakah Payment ID versi pemerintah, yang mencatat setiap sen yang dikeluarkan oleh kementerian, lembaga, sampai pejabat desa? Apakah kita bisa dengan mudah mengakses laporan real-time penggunaan anggaran negara? Bisakah kita melacak proyek siapa yang menghabiskan dana miliaran rupiah di daerah terpencil?
Tidak bisa kan.
Yang kita dapat hanyalah laporan tahunan sepanjang novel, penuh istilah teknis, atau dashboard setengah jadi yang tidak benar-benar transparan. Kita diminta percaya, tapi tidak diberi alat untuk memverifikasi. Kita diminta patuh, tapi tidak diberi kuasa.
Di sinilah letak keganjilannya. Negara demokrasi idealnya berpijak pada prinsip kedaulatan rakyat. Tapi dengan Payment ID, relasi kuasa itu malah terasa terbalik.
Rakyat yang harus transparan total, sementara negara tetap buram. Kita yang harus buka-bukaan soal pengeluaran pribadi, tapi pejabat bisa menyembunyikan aliran dana jumbo dengan embel-embel rahasia negara atau demi keamanan nasional.
Padahal kalau pemerintah serius ingin membangun kepercayaan, semestinya mereka mulai dari diri mereka sendiri.
Publikasikan seluruh transaksi keuangan negara secara terbuka, dari APBN sampai ke belanja makan siang rapat internal. Tampilkan pengeluaran per kementerian dalam dashboard publik.
Biarkan rakyat memantau anggaran, sama seperti mereka memantau saldo e-wallet kita. Transparansi tak boleh cuma satu arah.
Bahkan dalam kasus korupsi, kita tahu betapa rumitnya menelusuri aliran dana yang disembunyikan lewat rekening siluman, perusahaan fiktif, atau pinjaman atas nama orang lain. Tapi kenapa negara lebih tertarik memetakan transaksi warganya daripada mengaudit dirinya sendiri dengan sistem serupa?
Kalau niatnya benar-benar untuk mendeteksi kecurangan dan penipuan, kenapa Payment ID tidak dimulai dari elite pemerintahan? Dari DPR, dari kementerian, dari aparat hukum? Bukankah di sana pusat kebocoran uang negara yang selama ini jadi masalah?
Atau jangan-jangan, sistem ini memang bukan untuk mencegah kecurangan, tapi untuk mengontrol rakyat yang dianggap berisiko oleh negara?
Mungkin hari ini hanya untuk analisis kredit. Tapi besok? Mungkin sistem ini bisa dipakai untuk menyaring bantuan sosial, memblokir pinjaman, atau memetakan siapa saja yang dianggap tidak patuh dalam membelanjakan uang.
Dan siapa yang menjamin data kita aman? Rekam jejak kebocoran data di Indonesia bukan cuma buruk, tapi memalukan. Dari data KPU, data BPJS, sampai data SIM card. Semuanya pernah bocor. Lalu sekarang kita mau menyatukan semua data keuangan pribadi di satu sistem?
Yang benar saja.
Kita semua ingin sistem yang adil dan efisien. Tapi keadilan bukan hanya tentang rakyat yang diawasi. Ia juga soal siapa yang berhak mengawasi balik. Karena kalau yang bisa melihat semua hanyalah negara, dan rakyat tidak bisa melihat apa-apa, maka demokrasi kita benar-benar sedang mundur.