Ada sebuah ironi yang begitu terasa dalam kehidupan Generasi Z saat ini, terutama bagi mereka yang baru memasuki dunia kerja. Mereka adalah generasi yang dibekali dengan informasi melimpah, semangat aktivisme, dan harapan tinggi akan masa depan. Namun, realitas ekonomi yang mereka hadapi seringkali jauh dari kenyataan.
Mimpi kemapanan, mulai dari punya rumah sendiri, mobil, hingga tabungan yang cukup untuk masa tua, terasa semakin jauh di tengah tekanan gaji UMR yang pas-pasan dan inflasi yang terus merangkak naik secara gila-gilaan.
Fenomena ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah keresahan nyata yang menghimpit banyak anak muda di berbagai kota.
Gen Z tumbuh dengan janji-janji masa depan yang cerah. Orang tua mereka mungkin mendidik agar berprestasi di sekolah, kuliah di kampus bergengsi, dan kemudian akan mendapatkan pekerjaan yang enak dengan gaji besar.
Harapannya, hidup akan lebih baik dan lebih stabil. Namun, ketika mereka lulus dan mulai mencari pekerjaan, realitasnya seringkali mengejutkan. Banyak dari mereka yang akhirnya hanya bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah minimum regional (UMR).
Bayangkan saja, dengan gaji UMR, seorang Gen Z yang baru lulus kuliah harus menghadapi berbagai pengeluaran. Ada biaya sewa kamar atau kos yang terus naik, biaya makan sehari-hari, transportasi, kebutuhan internet, dan tak lupa, cicilan pinjaman pendidikan jika ada.
Setelah semua itu, sisa uang yang bisa ditabung seringkali sangat minim, bahkan nyaris tidak ada. Belum lagi jika ada kebutuhan mendadak atau harus membantu orang tua. Kondisi ini membuat impian untuk memiliki rumah sendiri, yang harganya terus melambung tinggi, menjadi terasa mustahil.
Harga rumah di pinggiran kota saja sudah bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Dengan gaji UMR, berapa tahun waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan uang muka saja? Mungkin bisa puluhan tahun.
Tekanan ini diperparah dengan laju inflasi yang seolah tak terkendali. Harga kebutuhan pokok, seperti beras, minyak, telur, hingga bumbu dapur, terus naik. Biaya listrik, air, dan transportasi umum juga tidak luput dari kenaikan.
Nilai uang yang diterima sebagai gaji UMR semakin hari terasa semakin kecil daya belinya. Dulu, mungkin dengan jumlah uang tertentu bisa membeli banyak barang, sekarang hanya cukup untuk sedikit.
Hal ini seperti berlari di tempat, atau bahkan berlari mundur, karena daya beli terus tergerus. Para ahli ekonomi memang menjelaskan bahwa inflasi adalah hal normal, namun bagi Gen Z dengan pendapatan terbatas, inflasi yang gila-gilaan ini adalah mimpi buruk yang nyata.
Kondisi ekonomi ini tidak hanya berdampak pada kemampuan finansial, tetapi juga pada kesehatan mental Generasi Z. Perasaan cemas, frustrasi, dan putus asa seringkali menghinggapi.
Mereka merasa terjebak dalam lingkaran setan di mana mereka bekerja keras, namun tidak melihat adanya peningkatan signifikan dalam kualitas hidup atau prospek masa depan. Tekanan ini bisa memicu burnout, di mana mereka merasa lelah secara fisik dan mental karena terus-menerus berjuang tanpa hasil yang memuaskan.
Selain itu, ada juga faktor perbandingan sosial yang masif di media sosial. Gen Z terus-menerus melihat teman sebaya atau influencer memamerkan pencapaian materi mereka, liburan mewah, ponsel terbaru, dan gaya hidup serba ada.
Meskipun mereka tahu itu mungkin hanya permukaan atau hasil dari privilege tertentu, tetap saja hal itu memicu rasa iri dan ketidakpuasan. Ada tekanan untuk mencapai standar hidup tertentu yang seringkali tidak realistis dengan realita gaji UMR mereka.
Mimpi kemapanan bagi Gen Z bukan hanya tentang memiliki harta, tetapi juga tentang stabilitas, keamanan finansial, dan kebebasan untuk menentukan arah hidup. Mereka ingin bisa menikah tanpa harus berutang banyak, punya dana darurat, atau bahkan memiliki waktu untuk mengembangkan diri dan passion di luar pekerjaan.
Namun, dengan kondisi yang ada, hal-hal tersebut terasa seperti kemewahan yang sulit diraih. Mereka terpaksa hidup hemat mati-matian, menunda rencana masa depan, atau bahkan menunda pernikahan dan memiliki anak karena khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Lantas, apakah ini berarti Gen Z harus menyerah? Tentu tidak. Namun, diperlukan pemahaman yang lebih dalam dari berbagai pihak. Pemerintah perlu terus berupaya mencari solusi untuk menekan laju inflasi dan memastikan UMR benar-benar mencukupi kebutuhan hidup layak.
Perusahaan juga perlu menyadari tantangan yang dihadapi karyawan muda dan menawarkan kompensasi yang lebih adil atau fasilitas yang mendukung kesejahteraan karyawan.
Bagi Gen Z sendiri, penting untuk terus mengembangkan skill dan kemampuan diri agar bisa bersaing di pasar kerja yang lebih luas, mencari peluang kerja sampingan, atau bahkan mempertimbangkan untuk membangun bisnis sendiri.
Manajemen keuangan yang cerdas, mulai dari membuat anggaran, menabung rutin, hingga berinvestasi sejak dini, juga menjadi sangat krusial. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menjaga kesehatan mental, mencari dukungan dari teman atau profesional jika merasa terbebani, dan tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.
Mimpi kemapanan Generasi Z mungkin terasa terjegal oleh realitas gaji UMR dan inflasi gila-gilaan, tetapi bukan berarti mimpi itu musnah. Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan adaptasi, inovasi, dan kolaborasi dari semua pihak agar generasi ini tetap bisa melangkah maju dan meraih masa depan yang lebih baik.