Fakta atau Rekayasa? PPN 12% Bikin Hidup Anak Kos Makin Berat

Hernawan | Sherly Azizah
Fakta atau Rekayasa? PPN 12% Bikin Hidup Anak Kos Makin Berat
ilustrasi mahasiswa rantau [pexels/Mehmet Turgut Kirkgoz]

Bayangin, lo lagi duduk di depan kamar kos, nyari inspirasi buat sempro atau skripsi, tiba-tiba dapet kabar kalau PPN naik jadi 12%. Sekilas sih kayak berita biasa, tapi buat anak kos yang tiap hari ngerogoh kantong buat makan nasi bungkus atau bayar kosan, ini kayak menambah beban. Kalau lo anak rantau, lo pasti paham betapa beratnya hidup jauh dari rumah, apalagi sekarang harus membayar lebih untuk kebutuhan sehari-hari.

PPN, alias Pajak Pertambahan Nilai, ini sebenarnya ide pemerintah buat menambah pendapatan negara. Tapi selanjutnya, kenaikan ini efeknya kayak rantai domino. Harga kebutuhan pokok naik, makan di warteg makin mahal, dan jangan lupa biaya kos juga bisa-bisa ikut melonjak. Anak kos yang sebelumnya udah bertahan dengan makan mie instan, sekarang mungkin harus mikir dua kali buat beli sambal sachet.

Lo pernah gak sih ngerasa kayak pemerintah itu kurang peka? Kita udah capek dengan biaya kuliah, biaya hidup, dan sekarang ada tambahan biaya yang nggak langsung terasa tapi pelan-pelan bikin dompet makin tipis Pertanyaannya, kenapa pemerintah nggak mikirin dampak buat kelompok yang paling rentan kayak anak kos? Lo tahu kan, anak rantau itu nggak cuma kuliah, tapi juga belajar mandiri, mikir bagaimana cara bertahan hidup. Sementara itu, kenaikan PPN ini kayak ngasih tantangan baru, tapi sayangnya, bukan tantangan yang bikin kita jadi lebih pinter, malah bikin kepala cenat-cenut.

Saya paham betul kalau negara butuh pendapatan untuk pembangunan. Tapi, masa tidak ada cara lain? Kalau alasan buat pemerataan ekonomi, kenapa gak lebih fokus ke pajak korporasi gede atau orang-orang kaya yang kadang bayar pajak aja ogah? Anak kos itu cuma pengen makan kenyang dan bayar kos tepat waktu, nggak minta lebih kok.

Mungkin lo berpikir, "Ah, ini cuma sementara, lama-lama terbiasa juga." Tapi coba deh renungin, kalau kebijakan ini terus berjalan tanpa solusi buat kelompok rentan, dampaknya apa? Bukan cuma anak kos, tapi UMKM kayak warteg atau penjual gorengan juga kena efeknya. Kita semua harus membayar lebih untuk sesuatu yang dulu tidak terlalu mahal.

Jadi, kalau lo anak kos yang ngerasa kena imbas, inilah saatnya buat bersuara. Entah lewat tulisan, diskusi, atau bahkan protes, biar pemerintah tahu kalau kebijakan kayak gini tidak bisa diterima begitu aja. Anak kos itu kuat, ya, tapi bukan berarti selalu bisa nerima semuanya tanpa perjuangan. Gimana, tulisan ini udah mewakili keresahan anak kos belum?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak