Dari Rival Jadi Rekan: Ironi Prabowo, Sekadar Simbol di Balik Bayang-Bayang Jokowi dan Gibran?

Hayuning Ratri Hapsari | Sendi Suwantoro
Dari Rival Jadi Rekan: Ironi Prabowo, Sekadar Simbol di Balik Bayang-Bayang Jokowi dan Gibran?
Ilustrasi Prabowo Subianto. (Suara.com/Ema)

Fenomena politik Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat dengan munculnya spekulasi menarik tentang peran tokoh-tokoh utama dalam dinamika kekuasaan. Salah satu sorotan utama adalah posisi Prabowo Subianto.

Di tengah gempita politik saat ini, muncul pandangan bahwa Prabowo hanya menjadi "pajangan" politik, sementara manuver strategis sebenarnya dikendalikan oleh figur-figur lain, terutama Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi).  

Dalam konteks ini, Gibran terlihat memainkan peran yang semakin signifikan meski usianya masih tergolong muda dan pengalamannya dalam politik belum panjang.

Sebagai seorang wali kota, ia sebenarnya baru beberapa tahun terjun dalam dunia politik praktis. Namun, kini ia tampak didorong ke panggung politik nasional, bahkan menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2024.

Banyak pihak menilai langkah ini sebagai upaya regenerasi politik untuk menarik suara generasi muda. Namun, tidak sedikit pula yang mencurigai bahwa langkah ini adalah bagian dari strategi Jokowi untuk mempertahankan pengaruhnya di balik layar, bahkan setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir.  

Pertanyaan utama yang muncul adalah sejauh mana Gibran memiliki kapasitas untuk mengambil peran strategis di panggung politik nasional?

Apakah ia benar-benar mampu membawa arah baru, ataukah ia hanya menjadi pion dalam skenario besar yang dirancang oleh Jokowi?

Jika benar bahwa Jokowi masih memiliki kendali atas peran Gibran, maka ini bisa menjadi contoh nyata dari bagaimana politik dinasti dan regenerasi kekuasaan dijalankan secara terang-terangan di Indonesia.  

Sementara itu, Prabowo, yang sebelumnya dikenal sebagai rival utama Jokowi dalam dua pemilu presiden berturut-turut, tampak berada di depan layar sebagai "wajah" dari koalisi besar yang dibentuk.

Namun, jika peran inti sebenarnya berada di tangan Gibran dan arahan Jokowi, maka posisi Prabowo bisa dianggap lebih sebagai simbol yang dimanfaatkan untuk mengamankan dukungan dari berbagai kelompok. Ini tentu menjadi ironi, mengingat reputasi Prabowo sebagai sosok independen dan kuat dalam politik Indonesia.  

Publik harus menyadari bahwa politik tidak hanya tentang figur-figur yang tampil di depan, tetapi juga tentang permainan di balik layar yang sering kali lebih menentukan arah kebijakan dan kekuasaan.

Kehadiran Gibran sebagai pemain baru, didukung penuh oleh Jokowi, memperlihatkan bagaimana politik dinasti dan regenerasi kekuasaan sedang diperkuat di negeri ini.  

Pada akhirnya, fenomena ini menjadi pengingat penting bagi rakyat Indonesia untuk tidak hanya menjadi penonton pasif dalam permainan elite.

Diperlukan kejelian dan kesadaran kritis untuk menilai setiap langkah politik yang ada, agar demokrasi tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan rakyat. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak