Impor, Regulasi, dan Janji Manis: Nasib Petani yang Terus Terpinggirkan

Sekar Anindyah Lamase | Sabit Dyuta
Impor, Regulasi, dan Janji Manis: Nasib Petani yang Terus Terpinggirkan
Ilustrasi petani di sawah (Pexels/DoDo PHANTHAMALY)

Indonesia, sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, harusnya menjadi surga bagi petani. Namun, kenyataannya berbeda. Dari singkong hingga beras, kebijakan pertanian yang seharusnya mendukung kesejahteraan petani, justru sering kali lebih berpihak pada kepentingan industri dan impor.

Seperti yang baru-baru ini dilaporkan oleh BBC, petani singkong di Lampung merasa terpinggirkan oleh banjirnya singkong impor yang membuat harga jual singkong lokal turun drastis.

Ironisnya, di saat petani berjuang untuk mendapatkan harga yang layak, pemerintah tetap membuka keran impor yang tidak seimbang dengan potensi produksi dalam negeri.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Beberapa tahun belakangan, kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan pasar global ketimbang kesejahteraan petani lokal terlihat jelas.

Di sektor beras, misalnya, kebijakan impor beras yang sering kali dikeluarkan untuk menstabilkan harga justru menyebabkan beras lokal kalah bersaing.

Para petani di sejumlah daerah mengalami kerugian, karena harga beras impor lebih murah dan mudah ditemukan di pasaran, sedangkan hasil panen mereka justru terbuang sia-sia atau terjual dengan harga yang jauh lebih rendah dari biaya produksi.

Tidak hanya itu, kebijakan 'zero-burning' yang dicanangkan pemerintah untuk mencegah kebakaran hutan juga memberikan dampak buruk bagi petani kecil. 

Larangan membuka lahan dengan api memaksa petani untuk mencari alternatif yang lebih mahal dan tidak selalu efektif. Akibatnya, banyak petani yang merasa tercekik dengan biaya operasional yang semakin meningkat, sementara pendapatan mereka tidak kunjung memadai.

Program Food Estate yang digadang-gadang pemerintah sebagai solusi untuk swasembada pangan malah berakhir dengan kontroversi. Di Kalimantan Tengah, misalnya, lahan yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat lokal kini banyak yang beralih ke korporasi besar tanpa ada komunikasi atau konsultasi dengan warga setempat.

Alih-alih menciptakan kesejahteraan, kebijakan ini justru menambah persoalan baru, seperti deforestasi dan kegagalan produksi yang jauh dari harapan.

Petani, yang sejatinya adalah pahlawan pangan negeri ini, sering kali menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Regulasinya lebih sering membuat mereka terjepit di antara kebijakan yang tidak adil dan praktik pasar yang tidak bersahabat.

Impor yang terus dibuka, ditambah dengan kebijakan yang kurang sensitif terhadap kondisi mereka, membuat petani semakin terpinggirkan. 

Dalam dunia yang semakin mengutamakan efisiensi dan laba, petani lokal kerap kali dianggap sebagai pihak yang mudah diabaikan.

Tidakkah pemerintah menyadari bahwa tanpa petani yang sejahtera, sektor pertanian kita akan terus terpuruk? Sepatutnya, kini saatnya untuk melihat masalah ini lebih dekat dan membuat kebijakan yang benar-benar mendukung mereka yang bekerja keras di lapangan. Jangan biarkan petani kita terus terpinggirkan di negeri yang kaya ini.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak