Sistem Zonasi Sekolah: Meningkatkan Kesetaraan atau Malah Menambah Masalah?

Hayuning Ratri Hapsari | Dony Marsudi
Sistem Zonasi Sekolah: Meningkatkan Kesetaraan atau Malah Menambah Masalah?
Ilustrasi sekolah (Freepik/gpointstudio)

Pendidikan adalah salah satu pilar penting dalam membangun masa depan bangsa. Namun, belakangan ini, sistem zonasi sekolah menjadi topik hangat yang terus diperdebatkan. Sistem zonasi adalah kebijakan pemerintah yang mengatur penerimaan siswa baru berdasarkan jarak tempat tinggal mereka dengan sekolah.

Jadi, semakin dekat rumahmu dengan sekolah, semakin besar peluangmu untuk diterima. Di satu sisi, sistem ini dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kesetaraan akses pendidikan. Di sisi lain, banyak yang merasa zonasi justru menimbulkan masalah baru.

Lalu, sebenarnya, apakah sistem zonasi ini benar-benar membantu atau malah bikin pusing tujuh keliling?

Kesetaraan atau Ketidakadilan?

Di atas kertas, sistem zonasi terlihat sangat adil. Tapi, realitanya tidak selalu semulus yang dibayangkan. Banyak orang tua yang merasa kebijakan ini justru menimbulkan ketidakadilan. Mengapa? Karena sistem ini dirasa membatasi peluang untuk anak berprestasi tapi jauh dari sekolah favoritnya.

Misalnya, ada siswa dengan nilai akademik tinggi justru tidak bisa masuk sekolah favorit karena jarak rumahnya terlalu jauh. Ini adalah bentuk kekurangan dari kebijakan sistem zonasi sekolah. Hal tersebut memunculkan pertanyaan: apakah sistem zonasi justru mengorbankan kualitas pendidikan demi kesetaraan yang belum tentu tercapai?

Dampak pada Kualitas Pendidikan

Salah satu kekhawatiran terbesar dari sistem zonasi adalah dampaknya terhadap kualitas pendidikan. Sebelum zonasi diterapkan, sekolah-sekolah favorit bisa memilih siswa-siswa terbaik berdasarkan nilai akademik. Sekarang, dengan sistem zonasi, sekolah harus menerima siswa berdasarkan jarak, bukan kemampuan.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kualitas pendidikan di sekolah-sekolah favorit bisa menurun. Sekolah-sekolah yang sebelumnya kurang diminati justru bisa mendapatkan siswa dengan kemampuan lebih beragam, yang mungkin bisa meningkatkan kualitas sekolah tersebut. Tapi, apakah ini benar-benar terjadi? Atau justru membuat kesenjangan semakin lebar?

Masalah Teknis dan Sosial yang Muncul

Selain masalah kualitas, sistem zonasi juga menimbulkan masalah teknis dan sosial. Misalnya, banyak orang tua yang akhirnya pindah rumah atau memalsukan alamat hanya agar anak mereka bisa masuk sekolah favorit. Ini jelas melenceng dari tujuan awal sistem zonasi.

Selain itu, ada juga masalah transportasi. Di daerah-daerah terpencil, jarak antara rumah dan sekolah bisa sangat jauh, sehingga siswa harus menghabiskan waktu dan biaya lebih banyak untuk pergi ke sekolah. Ini tentu memberatkan keluarga yang kurang mampu.

Tidak hanya itu, sistem zonasi juga bisa menimbulkan stigma sosial. Sekolah yang sebelumnya dianggap "biasa" bisa semakin terpinggirkan karena dianggap tidak sebaik sekolah favorit. Padahal, sebenarnya, kualitas pendidikan seharusnya tidak hanya dilihat dari nama besar sekolah, tapi juga dari upaya guru dan siswa itu sendiri.

Sistem zonasi memang punya tujuan yang baik, tapi pelaksanaannya masih perlu banyak perbaikan. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua sekolah memiliki kualitas yang setara, sehingga orang tua tidak perlu lagi berebut masuk sekolah favorit. Selain itu, perlu ada transparansi dalam proses penerimaan siswa baru agar tidak ada lagi praktik manipulasi alamat.

Hal yang tidak kalah penting, sistem zonasi harus fleksibel. Misalnya, tetap mempertimbangkan nilai akademik siswa, tapi dengan porsi yang seimbang dengan jarak tempat tinggal. Dengan begitu, kesetaraan dan kualitas pendidikan bisa berjalan beriringan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak