Perlawanan lewat Nada hingga Lukisan: Mengapa Kesenian Kerap Jadi Ancaman?

Hernawan | hanifati radhia
Perlawanan lewat Nada hingga Lukisan: Mengapa Kesenian Kerap Jadi Ancaman?
Sukatani Band (Instagram/sukatani.band)

Publik baru-baru ini dikagetkan dengan video permintaan maaf oleh Sukatani, grup band asal Purbalingga. Mereka meminta maaf lantaran lagu mereka yang berjudul Bayar Bayar Bayar. Meski demikian, di tengah aksi demonstrasi ”Indonesia Gelap” yang tengah bergulir, lagu bernada kritik ini seolah menjadi back sound. Liriknya tampak sederhana namun sungguh menyentil karena mengangkat isu ketidakpuasan terhadap salah satu institusi pemerintah.

Selain meminta maaf, Sukatani juga menyampaikan telah menarik lagu itu dari berbagai platform streaming. Jelas permintaan maaf ini menimbulkan kontroversi, dan tentu saja tidak lain apakah ada semacam pembungkaman atau intimidasi?

Ihwal karya seni dilarang tampil di muka publik bukan yang pertama kali dialami Sukatani saja dalam beberapa waktu ini. Sebelumnya, ada kasus lukisan karya Yos Suprapto yang mestinya mengadakan pameran tunggal mendadak dibatalkan.

Ada lima lukisan Yos yang diturunkan dari Galeri Nasional lantaran dianggap mirip dan mengkritik salah satu presiden. Tak hanya itu, bahkan di lingkungan kampus pun, pelarangan kegiatan seni juga terjadi. Seperti pada pelarangan pementasan teater bertajuk ”Wawancara dengan Mulyono” yang direncanakan ditampilkan oleh kelompok Teater Payung Hitam di Kampus ISBI Bandung. Pihak kampus memutuskan untuk tidak mengizinkan pertunjukan, karena menurut sang rektor, kampus harus bebas dari hal-hal yang menyangkut kepentingan politik praktis.

Jika kita menarik sejarah, ke masa lalu, kejadian serupa seringkali menimpa kesenian kita. Hal i ini terutama pada karya-karya seni bernuansa kritik yang ditujukan ke penguasa pada masa itu. Kesenian sebagai produk kebudayaan, hasil karya dan olah pikir manusia atas lingkungan sekitarnya seringkali dianggap sebagai ancaman. Pada masa Orde Baru misalnya, seniman seperti WS Rendra, Ratna Sarumpaet, hingga Teater Koma mengalami nasib sama. Karya mereka terancam dibredel atau dilarang tampil.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan dan ancaman, sejarah mencatat bahwa kesenian tetap menjadi media kritik yang cukup bertahan. Bahkan kesenian tanpa segan lagi menembus batas-batas ruang dan waktu. Kesenian bisa muncul di jalanan, pada dinding-dinding yang seakan bisu, namun justru ikut berseru. Seperti seni mural (lukisan dinding) dengan kuat menyampaikan pesan serta kritikan.

Dalam hal ini, segala macam bentuk pelarangan seperti dicontohkan di atas sejatinya merupakan bentuk pembatasan terhadap kebebasan berekspresi. Kalau para penguasa, atau orang-orang itu memahami bahwa kesenian bukan sekedar hiburan atau estetika semata. Kesenian bisa menjadi media kritik sosial dan refleksi atas hal-hal yang terjadi di masyarakat.

Berbagai kesenian dari musik, teater, sastra, hingga seni rupa, semua berpeluang menjadi media penyampai pesan, pengingat, hingga mengguggah kesadaran atas hal yang barangkali kita abaikan. Kesenian juga bisa menjadi media atau alat perlawanan kuat bahkan hingga mampu pada titik memprakarsai perubahan. Tetapi

barangkali hal itulah yang menjadikan negara dan penguasa merasa terancam dan terganggu atas keberadaan kesenian. Bukannya menanggapi bagaimana berkesenian dengan bebas, kreatif dan konstruktif, amat disayangkan mereka justru membatasi aktivitas seni. Padahal, prinsip kebebasan berekspresi dan berpendapat dijamin oleh konstitusi.

Penutup

Eksistensi kesenian sebagai media kritik sudah semestinya diberi ruang terlebih di negara yang berdemokrasi. Kesenian dalam berbagai bentuknya harus dihargai dan diberikan ruang untuk berkembang. Telah menjadi fitrah manusia untuk mengungkapkan ekspresi keindahan, keresahan, kekhawatirannya mengenai lingkungan mereka melalui karya baik lagu, film atau lukisan.

Dalam hal ini, negara sepatutnya memberikan ruang berekspresi dan berpendapat bagi warganya. Kebebasan berekspresi merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, baik di ranah fisik maupun digital. Selain itu, kebebasan berekspresi merupakan penanda dari masyarakat yang sehat dan berkembang.

Sebagai bentuk kebebasan ekspresi, kesenian tak seharusnya dibatasi atau dibungkam oleh penguasa atau negara. Maka, kita sebagai warga negara, baik itu sebagai penonton, pendengar, pengamat serta penikmat karya seni, berupaya terus mendukung seniman agar mereka bisa berkarya.

Tentunya para seniman dapat terus berkarya tanpa ragu dan takut akan intimidasi dari pihak manapun. Adanya upaya solidaritas inilah yang akan menjadikan kesenian terus hidup, tumbuh hingga menjadi kekuatan untuk perubahan. Akhir kata, jangan jangan jangan lagi ada Sukatani dan seniman lainnya yang dilarang dan dibungkam.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak