RUU TNI: Reformasi Militer atau Kemunduran Demokrasi?

Sekar Anindyah Lamase | Sabit Dyuta
RUU TNI: Reformasi Militer atau Kemunduran Demokrasi?
Ilustrasi TNI (Pexels/chaikong2511)

Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) memicu diskusi yang hangat. Sebagian pihak menganggap ini sebagai langkah maju untuk memperkuat peran militer dalam mendukung pemerintahan.

Namun, banyak juga yang melihatnya sebagai ancaman bagi demokrasi, terutama karena sejumlah ketentuan dalam rancangan ini membuka ruang yang lebih luas bagi TNI untuk terlibat dalam urusan sipil.

Salah satu perubahan yang paling disorot adalah perluasan daftar jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Dilansir Suara.com, jika sebelumnya militer hanya dapat menempati beberapa posisi di kementerian tertentu, kini jumlah lembaga yang dapat mereka masuki bertambah menjadi 16, termasuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Kejaksaan Agung.

Pertanyaannya, apakah perlu bagi seorang prajurit aktif untuk masuk ke ranah hukum atau administrasi perbatasan? Bukankah masing-masing sektor seharusnya dikelola oleh tenaga profesional dengan keahlian khusus di bidangnya?

Tidak sedikit di negara dengan sistem demokrasi yang kuat, militer memiliki peran yang jelas: menjaga pertahanan negara. Mereka dilatih untuk menghadapi ancaman eksternal, bukan mengelola birokrasi.

Indonesia sendiri pernah mengalami masa di mana militer memiliki peran besar dalam pemerintahan, yakni pada era Orde Baru.

Saat itu, konsep dwifungsi ABRI membuat militer tak hanya bertanggung jawab atas pertahanan, tetapi juga ikut campur dalam politik dan ekonomi. Akibatnya, kebijakan negara sering kali lebih berpihak pada kepentingan militer ketimbang kepentingan rakyat.

Reformasi 1998 berhasil menghapus praktik ini. Militer dikembalikan ke peran utamanya, sementara pemerintahan sipil diperkuat. Namun, dengan munculnya RUU TNI yang baru, bayang-bayang masa lalu itu kembali terasa.

Bukan hanya karena perluasan peran TNI di lembaga sipil, tetapi juga karena cara pembahasannya yang dianggap tertutup. Rapat-rapat digelar di hotel mewah dan minim transparansi.

Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan publik harus dibahas secara terbuka.

Salah satu dalih yang sering digunakan dalam mendukung keterlibatan prajurit aktif di jabatan sipil adalah "penghematan anggaran" dengan memanfaatkan sumber daya manusia yang sudah ada.

Namun, efisiensi seharusnya tidak mengorbankan profesionalisme. Jabatan sipil membutuhkan orang-orang yang paham sistem pemerintahan, administrasi publik, dan hukum, bukan hanya disiplin militer.

Justru dengan memasukkan prajurit aktif ke dalam sistem birokrasi, pemerintah berisiko menciptakan kebijakan yang tidak sejalan dengan prinsip demokrasi sipil.

Reformasi militer memang penting, tetapi harus dilakukan dengan arah yang benar. Alih-alih memperluas keterlibatan TNI di ranah sipil, yang dibutuhkan adalah penguatan profesionalisme mereka sebagai penjaga pertahanan negara.

Militer yang kuat bukanlah militer yang masuk ke berbagai sektor pemerintahan, tetapi militer yang fokus pada tugasnya: melindungi kedaulatan negara dan rakyat.

Kalau RUU ini disahkan tanpa pengawasan ketat, bukan tidak mungkin demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah akan mengalami kemunduran.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak