Pariwisata Indonesia Berpotensi Besar, tapi Gagal Lindungi Anak dari Ancaman Eksploitasi Seksual

Ayu Nabila | Alfino Hatta
Pariwisata Indonesia Berpotensi Besar, tapi Gagal Lindungi Anak dari Ancaman Eksploitasi Seksual
Ilustrasi ini menggambarkan hak setiap anak untuk merasakan kebahagiaan, seperti bermain, belajar, dan tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang. Kebahagiaan anak merupakan bagian penting dari hak asasi mereka, mencakup perlindungan, pendidikan, serta perhatian dari keluarga dan masyarakat (unsplash.com/@husniatisalma)

Industri pariwisata merupakan salah satu sektor yang paling menjanjikan bagi perekonomian Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, setiap wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia rata-rata menghabiskan antara 1.100 hingga 1.200 dolar AS per kunjungan.

Saat ini, industri pariwisata menyumbang sekitar 4% dari total perekonomian nasional. Bahkan, pemerintah berambisi untuk meningkatkan kontribusi tersebut menjadi dua kali lipat melalui berbagai strategi, seperti pembebasan visa bagi wisatawan asing.

Namun, di balik kesuksesan tersebut, ada ancaman serius yang menghantui industri pariwisata: eksploitasi seksual anak. Di daerah-daerah wisata populer, potensi eksploitasi seksual anak sangat tinggi.

Banyak wisatawan asing maupun lokal tidak hanya datang untuk berlibur atau berbisnis, tetapi juga membawa motif tersembunyi, termasuk mengeksploitasi anak secara seksual. Faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu utama praktik ini.

Menurut laporan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2018, tercatat ada 80 kasus prostitusi anak, 75 kasus eksploitasi pekerja anak, 57 kasus eksploitasi seksual komersial anak, dan 52 kasus trafficking anak.

Sebagian besar kasus tersebut terjadi di daerah wisata, seperti Bali, Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Jakarta. Salah satu contoh nyata adalah kasus di Bali pada awal 2019, di mana lima anak berusia 14 hingga 17 tahun dieksploitasi secara seksual di Sanur.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat bahwa Bali menjadi salah satu tempat tujuan prostitusi anak, dengan pola eksploitasi yang semakin sistematis dan melibatkan jaringan internasional.

Dalam laporan ECPAT International tahun 2021, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan risiko tinggi terhadap eksploitasi seksual anak di sektor pariwisata.

Laporan tersebut menyoroti pentingnya kerja sama lintas sektor untuk mengatasi masalah ini, terutama di destinasi-destinasi wisata populer yang rentan terhadap praktik ilegal ini.

Upaya Pencegahan: Kolaborasi Antarlembaga

Untuk mengatasi masalah ini, ECPAT Indonesia bersama Terre des Hommes dan PLAN membentuk aliansi bernama Down to Zero. Aliansi ini bertujuan untuk memberantas eksploitasi seksual anak di tempat wisata melalui kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sektor swasta.

Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah menjalin kerja sama dengan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), organisasi yang mewadahi lebih dari 50 pelaku usaha wisata di seluruh Indonesia.

Dalam pertemuan dengan GIPI pada 25 Februari 2019, Down to Zero memperkenalkan tiga program utama:

1. Program Lokakarya

Program ini bertujuan untuk membangun panduan pencegahan eksploitasi seksual anak di destinasi wisata. Salah satu materinya mencakup pedoman pra-teknis dari Kementerian Pariwisata tahun 2010 tentang pencegahan pariwisata seksual anak.

Menurut Direktur ECPAT Indonesia, program ini dirancang untuk memberikan pelatihan kepada para pelaku industri pariwisata tentang cara mengidentifikasi dan melaporkan kasus eksploitasi anak.

2. Kampanye "Kids Aren’t Souvenir"

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik agar ikut serta dalam mencegah eksploitasi seksual anak.

Kampanye ini telah mendapatkan dukungan dari organisasi internasional seperti UNICEF dan UNESCO, yang menekankan pentingnya pendidikan publik dalam menghapus stigma terhadap korban eksploitasi anak.

3. The Code

Inisiatif global yang dibuat oleh ECPAT Internasional untuk mendukung industri pariwisata dalam melindungi anak-anak dari eksploitasi seksual. The Code telah diadopsi oleh lebih dari 5.000 perusahaan di seluruh dunia, termasuk hotel, agen perjalanan, dan maskapai penerbangan.

Dalam konteks Indonesia, The Code diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pelaku usaha pariwisata untuk memastikan bahwa operasional mereka bebas dari praktik eksploitasi anak.

GIPI menyambut baik inisiatif ini dan berkomitmen untuk bekerja sama melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU). Kerja sama ini diharapkan menjadi langkah awal untuk menciptakan destinasi wisata yang aman bagi anak-anak.

Ketua Umum GIPI, Didien Junaedy, menyatakan bahwa industri pariwisata memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi hak anak, terutama di daerah-daerah wisata yang rentan terhadap eksploitasi.

Bagaimana Transportasi Wisata Bisa Melindungi Hak Anak?

Transportasi wisata memiliki peran penting dalam melindungi hak anak, terutama di daerah wisata. Berikut adalah beberapa cara transportasi wisata dapat berkontribusi:

1. Pengawasan Ketat di Terminal dan Pelabuhan

Operator transportasi dapat memastikan bahwa semua anak yang bepergian bersama orang dewasa memiliki hubungan yang jelas dan sah. Hal ini dapat mengurangi risiko perdagangan manusia dan eksploitasi anak.

Menurut laporan dari International Labour Organization (ILO), pengawasan ketat di terminal transportasi dapat mengurangi risiko trafficking anak hingga 30%.

2. Pelatihan untuk Pengemudi dan Staf

Memberikan pelatihan kepada pengemudi bus, kapal, atau taksi tentang cara mengenali tanda-tanda eksploitasi anak dapat membantu mencegah praktik ilegal ini.

Mereka juga dapat dilibatkan dalam kampanye kesadaran seperti "Kids Aren’t Souvenir". Organisasi non-profit seperti Save the Children telah menyediakan modul pelatihan yang dapat diadopsi oleh operator transportasi.

3. Menerapkan Teknologi untuk Keamanan

Penggunaan teknologi seperti GPS dan sistem monitoring dapat membantu memastikan bahwa anak-anak tidak dibawa ke lokasi-lokasi yang mencurigakan.

Kementerian Perhubungan Indonesia telah mengembangkan aplikasi digital yang dapat digunakan untuk melacak pergerakan anak-anak di area transportasi umum.

4. Menyediakan Informasi dan Layanan Perlindungan

Operator transportasi dapat menyediakan informasi tentang layanan perlindungan anak, seperti hotline pengaduan, di terminal atau stasiun mereka. Hotline Perlindungan Anak 129 yang dioperasikan oleh KPPPA telah menjadi salah satu sumber informasi penting bagi masyarakat.

Hak Anak: Tanggung Jawab Bersama

Setiap anak memiliki hak dasar yang harus dijamin, baik di kota maupun di desa. Hak-hak ini diatur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia sejak mulai berlaku pada 20 November 1989. Hak-hak tersebut meliputi:

  • Hak atas kehidupan
  • Hak atas perawatan kesehatan
  • Hak atas pendidikan
  • Hak atas perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi

Bisnis, termasuk industri pariwisata dan transportasi, memiliki peran penting dalam memastikan hak-hak ini terpenuhi. Anak-anak adalah konsumen, tanggungan pekerja, anggota komunitas, dan calon tenaga kerja masa depan. Oleh karena itu, bisnis harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan anak-anak.

Menurut laporan dari UNICEF tahun 2022, sekitar 1 dari 10 anak di dunia mengalami bentuk eksploitasi tertentu, termasuk pekerja anak dan perdagangan manusia. Di Indonesia sendiri, angka ini mencapai 15%, dengan sebagian besar kasus terjadi di daerah-daerah wisata. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini.

Alasan Bisnis Harus Menghormati Hak Anak

Menghormati hak anak bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga strategi bisnis yang cerdas. Berikut adalah beberapa alasan mengapa perusahaan harus memprioritaskan hak anak:

1. Mengurangi Risiko Operasional

Dengan memastikan rantai nilai bebas dari eksploitasi anak, perusahaan dapat mengurangi risiko reputasi dan hukum. Menurut laporan dari World Tourism Organization (UNWTO), perusahaan yang gagal melindungi hak anak berisiko kehilangan lisensi operasi dan menghadapi sanksi hukum.

2. Meningkatkan Reputasi

Perusahaan yang ramah terhadap hak anak akan dilihat positif oleh konsumen dan masyarakat. Sebuah studi oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa 78% konsumen lebih cenderung memilih produk atau layanan dari perusahaan yang memiliki komitmen kuat terhadap hak asasi manusia.

3. Menarik Tenaga Kerja Berkualitas

Kebijakan yang ramah keluarga dapat menarik karyawan yang termotivasi dan loyal. Menurut survei dari Deloitte, 65% generasi milenial lebih memilih bekerja di perusahaan yang memiliki nilai-nilai sosial yang kuat.

4. Menciptakan Nilai Ekonomi

Dengan melindungi hak anak, perusahaan menciptakan pasar baru dan membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan masa depan.

Laporan dari World Economic Forum menunjukkan bahwa investasi dalam perlindungan hak anak dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan hingga 20%.

Industri pariwisata dan transportasi memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Namun, tantangan seperti eksploitasi seksual anak harus diatasi dengan serius.

Melalui kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, kita dapat menciptakan destinasi wisata yang aman dan inklusif bagi semua, terutama anak-anak.

Perlindungan hak anak adalah tanggung jawab bersama. Dengan komitmen yang kuat, kita dapat memastikan bahwa setiap anak — di mana pun mereka berada—dapat tumbuh dengan aman, sehat, dan bahagia.

Sebagaimana ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, "Anak-anak adalah masa depan kita. Melindungi hak mereka adalah investasi terbesar yang dapat kita lakukan untuk dunia yang lebih baik."

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak