Merdeka Belajar dalam Perspektif Ki Hadjar atau Merdeka dari Belajar?

Hikmawan Firdaus | Alfino Hatta
Merdeka Belajar dalam Perspektif Ki Hadjar atau Merdeka dari Belajar?
Pidato sambutan Ki Hadjar Dewantara dala reepsi Rapat Besar VIII Tamansiswa (2 Mei 1970). — (Koleksi istimewa Museum Dewantara Kirti Griya)

Pendidikan adalah fondasi kemajuan bangsa. Ia tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, mengasah keterampilan, dan membebaskan potensi manusia untuk berkontribusi pada masyarakat. Di Indonesia, sistem pendidikan yang kaku dan berfokus pada hafalan telah lama menjadi sorotan.

Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan Merdeka Belajar, sebuah gagasan yang menjanjikan kebebasan berpikir, kreativitas, dan pengembangan bakat. Namun, apakah Merdeka Belajar benar-benar membebaskan, ataukah justru menjadi belenggu baru dalam bentuk lain?

Krisis Pendidikan Indonesia: Sistem yang Membelenggu Potensi

Sistem pendidikan Indonesia sering dikritik karena pendekatannya yang terpusat pada aspek kognitif, mengesampingkan keterampilan praktis dan pengembangan karakter. Menurut World Bank, 55% lulusan sekolah di Indonesia dianggap functionally illiterate, jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang hanya 14%. World Bank juga menyoroti bahwa pandemi COVID-19 memperburuk situasi, menyebabkan kehilangan pembelajaran setara 11 bulan dalam kemampuan bahasa dan matematika bagi siswa kelas empat. Guru, di sisi lain, terbebani oleh target administratif dan kurikulum kaku, sehingga proses belajar-mengajar kehilangan esensi utamanya: memanusiakan manusia.

Merdeka Belajar hadir sebagai solusi atas krisis ini. Diluncurkan oleh Kemendikbudristek, program ini bertujuan menciptakan ekosistem pendidikan yang menyenangkan, fleksibel, dan berorientasi pada potensi individu. Melansir Kemendikbudristek, Merdeka Belajar dirancang untuk membebaskan siswa dan guru dari tekanan kurikulum yang berat, dengan fokus pada pembelajaran berbasis proyek, penguatan karakter, dan integrasi nilai-nilai kebangsaan melalui Profil Pelajar Pancasila. Namun, tanpa implementasi yang cermat, visi ini berisiko menjadi sekadar slogan tanpa dampak nyata.

Ki Hadjar Dewantara: Pendidikan sebagai Pembebasan Jiwa

Ki Hadjar Dewantara, pelopor pendidikan nasional, menawarkan kerangka pemikiran yang relevan untuk memahami Merdeka Belajar. Melalui sistem Among di Perguruan Tamansiswa, Ki Hadjar menekankan bahwa pendidikan harus berpusat pada anak, berlandaskan kasih sayang, keadilan, dan kepekaan terhadap budaya lokal. Ia memandang pendidikan sebagai alat untuk memerdekakan jiwa manusia agar berkembang sesuai kodratnya, bukan sekadar mengisi kepala dengan fakta.

Sistem Among mengusung tiga prinsip utama: ngemong (membimbing dengan kasih sayang), ngopeni (merawat potensi individu), dan ngayomi (melindungi dan memberi teladan). Bagi Ki Hadjar, pendidikan harus menghapus kesenjangan sosial, memupuk semangat kebangsaan, dan menghasilkan individu yang bermanfaat bagi masyarakat. Merdeka Belajar mencerminkan semangat ini dengan memberikan kebebasan kepada guru untuk merancang pembelajaran kontekstual dan kepada siswa untuk mengeksplorasi bakat mereka. Namun, seperti yang diingatkan Ki Hadjar, kebebasan harus diimbangi dengan tanggung jawab dan kedisiplinan agar tidak berujung pada kekacauan.

Tantangan Implementasi: Jalan Terjal Menuju Perubahan

Meskipun Merdeka Belajar memiliki visi mulia, implementasinya menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, kualitas guru menjadi faktor kunci. Mengutip ProVisi Education, sebuah organisasi non-profit yang fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, banyak guru masih kurang terlatih dalam menerapkan metode pengajaran inovatif dan berpusat pada siswa. Pelatihan guru yang tidak merata, terutama di daerah terpencil, menghambat efektivitas program ini.

Kedua, ketimpangan infrastruktur pendidikan tetap menjadi masalah serius. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 60% sekolah di daerah tertinggal memiliki akses internet memadai, padahal Merdeka Belajar mendorong penggunaan teknologi. Ketimpangan ini diperparah oleh distribusi anggaran pendidikan yang tidak merata, meskipun anggaran nasional telah mencapai 20% dari APBN sejak awal 2000-an. Ketiga, sistem penilaian yang masih berorientasi pada ujian nasional sering bertentangan dengan semangat Merdeka Belajar. Melansir Transparency International Indonesia (TII) melalui inisiatif Cek Sekolahku, tekanan untuk mencapai nilai ujian tinggi mendorong sekolah mempertahankan metode hafalan, alih-alih mengadopsi pendekatan kreatif.

Merdeka Belajar dan Pembentukan Karakter Kebangsaan

Salah satu keunggulan Merdeka Belajar adalah penekanannya pada pembentukan karakter berlandaskan nilai-nilai kebangsaan. Mengutip Kemendikbudristek, Profil Pelajar Pancasila dirancang untuk membentuk siswa yang beriman, mandiri, kreatif, dan mampu bekerja sama. Nilai-nilai ini sejalan dengan visi Ki Hadjar, yang menginginkan pendidikan menghasilkan individu berintegritas moral dan berkontribusi pada masyarakat.

Contoh nyata adalah program pembelajaran berbasis proyek, yang mendorong siswa menyelesaikan masalah nyata di lingkungan mereka, seperti isu lingkungan atau sosial. Inisiatif ini didukung oleh organisasi non-profit seperti Yayasan Usaha Mulia (YUM), yang melalui proyek pendidikan di Kalimantan Tengah telah meningkatkan kualitas pendidikan bagi 19.000 anak dengan mengintegrasikan nilai budaya lokal dan keterampilan praktis. Pendekatan ini mencerminkan semangat Among Ki Hadjar, yang menekankan pendidikan yang relevan dengan konteks sosial dan budaya siswa.

Merdeka Belajar atau Merdeka dari Belajar?

Merdeka Belajar menawarkan harapan baru, tetapi ada risiko kebebasan yang diberikan disalahartikan. Tanpa bimbingan jelas, siswa mungkin kehilangan motivasi, sementara guru bingung menerapkan kurikulum fleksibel. Ki Hadjar mengingatkan bahwa kebebasan harus diimbangi dengan struktur dan tanggung jawab. Merdeka Belajar bukan berarti meninggalkan standar, tetapi memberikan ruang kreativitas dalam kerangka terarah.

Menurut World Bank, untuk mewujudkan potensi Merdeka Belajar, Indonesia perlu memperkuat akuntabilitas daerah, meningkatkan kapasitas guru, dan memastikan akses pendidikan inklusif. Kolaborasi dengan organisasi seperti ProVisi Education dan YUM dapat menjembatani kesenjangan infrastruktur dan pelatihan. Contohnya, ProVisi Education telah bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengembangkan program pelatihan guru yang mendukung Merdeka Belajar.

Menuju Pendidikan yang Benar-Benar Merdeka

Merdeka Belajar berpotensi merevolusi pendidikan Indonesia, tetapi keberhasilannya bergantung pada komitmen bersama. Mengadopsi perspektif Ki Hadjar, pendidikan harus membebaskan individu untuk menemukan jati dirinya dan berkontribusi pada bangsa. Langkah strategis yang diperlukan meliputi:

  • Peningkatan Kapasitas Guru: Pelatihan harus fokus pada metode inovatif, seperti direkomendasikan ProVisi Education.
  • Pemerataan Infrastruktur: Pemerintah harus memastikan akses internet dan fasilitas di daerah tertinggal, sebagaimana diungkapkan BPS.
  • Reformasi Penilaian: Sistem penilaian harus fleksibel, seperti disoroti TII.
  • Kolaborasi Non-Profit: Kemitraan dengan YUM dapat memperkaya pendekatan berbasis komunitas.

Sebagai penutup, Merdeka Belajar bukan sekadar kebebasan dari kurikulum kaku, tetapi panggilan untuk kembali pada esensi pendidikan: memanusiakan manusia, memupuk karakter, dan menyiapkan generasi menghadapi tantangan zaman. Dalam semangat Ki Hadjar Dewantara, mari wujudkan pendidikan yang benar-benar merdeka—bukan merdeka dari belajar, tetapi merdeka untuk belajar, berkarya, dan memberi manfaat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak