Pada era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi digital dan melimpahnya arus informasi, budaya literasi menjadi pilar fundamental bagi kemajuan sebuah bangsa.
Literasi tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan memanfaatkan informasi secara kritis guna pengambilan keputusan yang lebih baik. Namun, realitas literasi di Indonesia masih jauh dari ideal.
Menurut Perpustakaan Nasional Indonesia, tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya mencapai 0,001 persen, yang berarti hanya satu dari seribu orang yang aktif membaca.
Mengutip Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tingkat literasi Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan ASEAN.
Selain itu, melansir Kemendikbudristek, hasil Asesmen Nasional tahun 2022 menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara-negara peserta lainnya.
Meskipun demikian, terdapat harapan dari peningkatan minat baca yang tercermin dalam Survei Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional dari tahun 2017 hingga 2023, yang mencatat adanya tren positif, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.
Selain itu, menurut Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Indonesia, komunitas baca di daerah pedesaan mulai menunjukkan perkembangan, meskipun masih terkendala oleh akses terhadap bahan bacaan berkualitas.
Data tersebut menegaskan bahwa upaya membangun budaya literasi harus dimulai sejak dini, terutama melalui institusi pendidikan dasar yang menjadi fondasi pembentukan karakter dan intelektualitas anak.
Perpustakaan sekolah dasar (SD) memiliki peran strategis dalam menanamkan minat baca dan mengembangkan kemampuan literasi anak.
Sebagai pusat pengetahuan, perpustakaan SD tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku, tetapi juga sebagai ruang belajar yang mampu menginspirasi kreativitas, imajinasi, dan pemikiran kritis.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak perpustakaan SD di Indonesia menghadapi tantangan struktural, seperti keterbatasan koleksi buku, fasilitas yang tidak memadai, dan kurangnya tenaga pustakawan yang terlatih.
Tantangan Perpustakaan Sekolah Dasar di Indonesia
Perpustakaan sekolah dasar di Indonesia menghadapi sejumlah kendala struktural yang menghambat perannya sebagai pusat literasi. Pertama, koleksi buku yang tersedia sering kali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan siswa secara intelektual dan emosional.
Menurut Kemendikbudristek, lebih dari 60 persen perpustakaan SD di Indonesia didominasi oleh buku pelajaran. Sementara buku cerita, fiksi, atau bahan bacaan berbasis budaya lokal, seperti dongeng Nusantara lika dongeng Nusantara, cerita rakyat, atau kisah inspiratif dari tokoh-tokoh Indonesia, hanya mencakup kurang dari 20 persen koleksi.
Padahal, bacaan yang relevan dengan konteks budaya anak, seperti cerita tentang Cut Nyak Dhien atau legenda Roro Jonggrang, memiliki potensi besar untuk membangkitkan minat baca anak dan memperkuat identitas budaya mereka. Kurangnya variasi koleksi ini tidak hanya membatasi eksplorasi pengetahuan siswa, tetapi juga mengurangi daya tarik perpustakaan sebagai ruang belajar yang menyenangkan.
Kedua, kondisi fisik perpustakaan sering kali tidak mendukung proses pembelajaran yang optimal. Mengutip Dompet Dhuafa, sebuah organisasi nirlaba di Indonesia, sekitar 70 persen perpustakaan SD di daerah pedesaan memiliki ruang yang sempit, pencahayaan yang buruk, dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur teknologi dasar, seperti komputer atau akses internet.
Banyak perpustakaan juga kekurangan furnitur yang ergonomis, seperti meja baca yang nyaman atau rak buku yang memadai, sehingga mengurangi kenyamanan siswa saat menggunakan fasilitas tersebut.
Kondisi ini sangat kontras dengan kebutuhan generasi muda yang telah terbiasa dengan lingkungan digital yang interaktif dan dinamis, sehingga membuat perpustakaan tampak ketinggalan zaman dan kurang relevan.
Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia menjadi hambatan utama dalam pengelolaan perpustakaan. Menurut Perpustakaan Nasional, lebih dari 50 persen perpustakaan SD di Indonesia dikelola oleh guru atau staf sekolah yang tidak memiliki pelatihan khusus sebagai pustakawan.
Guru yang ditugaskan untuk mengelola perpustakaan sering kali terbebani oleh tanggung jawab mengajar, sehingga tidak memiliki waktu atau energi untuk mengembangkan program literasi yang inovatif, seperti kegiatan mendongeng, klub baca, atau lokakarya menulis.
Kurangnya keahlian dalam manajemen perpustakaan juga menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang menarik dan mendukung perkembangan literasi siswa.
Ketiga tantangan ini, yaitu koleksi yang terbatas, fasilitas yang tidak memadai, dan minimnya sumber daya manusia, secara kolektif menghambat potensi perpustakaan SD sebagai pusat literasi yang efektif.
Peluang Transformasi Digital
Di tengah berbagai tantangan tersebut, kemajuan teknologi digital menawarkan peluang signifikan untuk merevitalisasi peran perpustakaan sekolah dasar.
Perpustakaan digital, yang menyediakan akses ke koleksi buku elektronik, artikel ilmiah, dan konten multimedia interaktif, dapat menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan koleksi buku fisik.
Sebagai contoh, inisiatif Perpustakaan Digital Nasional yang diluncurkan oleh Perpustakaan Nasional telah menyediakan ribuan buku elektronik gratis, termasuk cerita rakyat digital, buku anak berbahasa daerah, dan materi pendidikan berbasis budaya Indonesia, yang dapat diakses oleh sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Konten seperti cerita tentang Malin Kundang, legenda Danau Toba, atau kisah pahlawan nasional dalam format digital dapat membuat pembelajaran lebih menarik dan relevan bagi siswa.
Selain itu, teknologi digital memungkinkan pengembangan program literasi yang lebih inovatif dan interaktif. Aplikasi pembelajaran berbasis cerita rakyat, buku audio dalam bahasa daerah, dan permainan edukasi yang mengangkat nilai-nilai budaya lokal dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses literasi.
Menurut Yayasan Literasi Kita Indonesia, penggunaan aplikasi pembelajaran berbasis cerita rakyat telah meningkatkan minat baca anak hingga 30 persen di beberapa sekolah percontohan.
Pendekatan ini sangat sesuai dengan karakteristik generasi digital native, yang cenderung lebih responsif terhadap konten multimedia yang dinamis dan mudah diakses.
Namun, keberhasilan transformasi digital tidak dapat dicapai tanpa mengatasi dua tantangan utama, yaitu ketersediaan infrastruktur teknologi dan kapasitas sumber daya manusia.
Menurut Kemendikbudristek, hanya 40 persen sekolah dasar di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) memiliki akses internet yang stabil, yang menjadi prasyarat untuk implementasi perpustakaan digital.
Selain itu, guru dan pustakawan perlu mendapatkan pelatihan intensif untuk mengelola platform digital dan membimbing siswa dalam menggunakan teknologi secara bijak.
Pelatihan ini harus mencakup keterampilan teknis, seperti pengelolaan sistem perpustakaan digital, serta kemampuan pedagogis untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam kurikulum literasi.
Tanpa investasi yang memadai dalam infrastruktur dan pengembangan kapasitas, potensi transformasi digital tidak akan dapat direalisasikan secara maksimal.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Perpustakaan yang Lebih Baik
Untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang transformasi digital, kolaborasi lintas sektor menjadi prasyarat yang tidak dapat ditawar.
Pemerintah, melalui Kemendikbudristek dan Perpustakaan Nasional, memiliki tanggung jawab untuk menyediakan kebijakan, anggaran, dan program yang mendukung pengembangan perpustakaan SD.
Sebagai contoh, program Gerakan Literasi Sekolah yang diluncurkan oleh Kemendikbudristek telah mendorong sekolah untuk mengintegrasikan kegiatan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai, yang terbukti efektif dalam meningkatkan kebiasaan membaca siswa.
Namun, program ini perlu diperkuat dengan penyediaan buku-buku berkualitas, peningkatan fasilitas perpustakaan, dan pelatihan bagi tenaga pendidik dan pustakawan.
Sektor swasta juga dapat memainkan peran penting melalui penyediaan teknologi dan sumber daya. Program Perpustakaan Keliling Digital yang diinisiasi oleh PT Telkom Indonesia, misalnya, telah membawa akses buku elektronik dan komputer tablet ke lebih dari 100 sekolah dasar di daerah terpencil.
Inisiatif ini menunjukkan bahwa kemitraan dengan sektor swasta dapat mempercepat transformasi perpustakaan dan memperluas akses terhadap bahan bacaan berkualitas.
Selain itu, perusahaan swasta dapat mendukung melalui donasi buku, pengembangan aplikasi literasi, atau penyediaan infrastruktur teknologi seperti koneksi internet.
Keterlibatan komunitas lokal, termasuk orang tua, tokoh masyarakat, dan organisasi nirlaba, juga merupakan elemen kunci dalam memperkuat peran perpustakaan SD.
Menurut TBM Indonesia, keterlibatan komunitas dalam kegiatan mendongeng atau diskusi buku berbasis cerita rakyat dapat meningkatkan minat baca anak hingga 25 persen.
Sekolah dapat menggandeng komunitas lokal untuk mengadakan festival literasi, lokakarya menulis cerita, atau pameran budaya yang mengangkat kekayaan tradisi Indonesia.
Kegiatan ini tidak hanya memperkaya pengalaman literasi siswa, tetapi juga memperkuat hubungan antara sekolah dan masyarakat, menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Selain itu, kolaborasi antar sekolah juga dapat menjadi strategi efektif. Sekolah-sekolah di wilayah yang sama dapat membentuk jaringan perpustakaan untuk berbagi sumber daya, seperti koleksi buku atau akses ke platform digital.
Inisiatif ini dapat didukung oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan, yang berperan sebagai koordinator dan fasilitator. Lewat pendekatan kolaboratif yang terintegrasi, perpustakaan SD dapat bertransformasi menjadi pusat literasi yang tidak hanya menyediakan buku, tetapi juga menjadi ruang inspirasi, inovasi, dan pemberdayaan bagi generasi muda.
Perpustakaan sekolah dasar memegang peran strategis dalam membangun budaya literasi yang kuat di Indonesia, yang menjadi fondasi bagi kemajuan pendidikan dan pembangunan bangsa.
Meskipun menghadapi tantangan signifikan, seperti keterbatasan koleksi buku, fasilitas yang tidak memadai, dan minimnya sumber daya manusia, peluang transformasi digital menawarkan solusi yang menjanjikan untuk merevitalisasi peran perpustakaan.
Melalui pemanfaatan teknologi, seperti perpustakaan digital, aplikasi pembelajaran interaktif, dan konten multimedia berbasis budaya lokal, serta memperkuat kolaborasi antara pemerintah, sekolah, sektor swasta, dan komunitas lokal, perpustakaan SD dapat bertransformasi menjadi ruang belajar yang inovatif, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan generasi muda Indonesia.
Investasi dalam transformasi perpustakaan SD bukan hanya tentang meningkatkan minat baca, tetapi juga tentang mempersiapkan generasi masa depan yang kritis, kreatif, dan berakar pada kekayaan budaya Indonesia.
Melalui komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan dan pendekatan yang terkoordinasi, perpustakaan SD dapat menjadi pilar kokoh bagi kemajuan literasi dan pendidikan nasional.
Oleh karena itu, transformasi perpustakaan SD harus menjadi prioritas strategis dalam agenda pembangunan pendidikan Indonesia, demi mewujudkan masyarakat yang berpengetahuan dan berdaya saing di era global.