Mindful parenting, atau pengasuhan dengan kesadaran penuh, bukanlah sekadar tren psikologi populer, melainkan pendekatan fundamental yang menuntut pemahaman mendalam tentang dinamika emosi, persepsi diri, dan interaksi sosial orang tua dengan anak-anak mereka. Dalam penelitian yang diterbitkan dalam Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, Hidayati, Hartini, dan Chusairi (2024) mencoba membangun model mindful parenting bagi ibu dengan anak usia dini. Dengan pendekatan kuantitatif yang melibatkan lebih dari 300 ibu di Jawa Timur, studi ini mengungkap hubungan kompleks antara dukungan sosial, self-compassion, efikasi diri dalam pengasuhan, dan rasa syukur dalam membentuk pola pengasuhan yang lebih sadar dan terarah.
Penelitian ini berangkat dari asumsi dasar bahwa kualitas pengasuhan tidak hanya ditentukan oleh keterampilan atau pengetahuan teknis tentang pola asuh, tetapi juga oleh faktor psikologis yang lebih subtil dan sering kali diabaikan. Dukungan sosial yang diterima ibu, misalnya, bukan sekadar soal bantuan konkret dari pasangan atau keluarga, tetapi juga mencakup perasaan diterima dan didukung secara emosional dalam perannya sebagai pengasuh utama. Tanpa dukungan sosial yang memadai, ibu cenderung mengalami tekanan yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk hadir secara sadar dalam interaksi dengan anak-anak mereka.
Self-compassion, atau kemampuan ibu untuk menerima diri mereka sendiri dengan penuh welas asih, juga muncul sebagai variabel penting dalam studi ini. Pengasuhan adalah proses yang penuh tantangan, sering kali disertai perasaan gagal, ketidaksempurnaan, dan tekanan untuk selalu menjadi orang tua yang ideal. Dalam konteks ini, ibu yang memiliki self-compassion lebih mampu mengelola kesalahan mereka tanpa terjebak dalam siklus rasa bersalah yang kontraproduktif. Mereka lebih mungkin merespons anak dengan kesabaran dan empati, bukan dengan frustrasi atau reaksi impulsif yang dapat merusak hubungan emosional.
Namun, yang membuat penelitian ini menarik adalah bagaimana rasa syukur ditemukan sebagai mediator utama dalam hubungan antara faktor-faktor psikologis tersebut dengan mindful parenting. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat rasa syukur yang lebih tinggi terhadap keberadaan anak-anak mereka cenderung lebih mampu menjalankan mindful parenting. Ini adalah temuan yang menggugah, mengingat rasa syukur sering kali dianggap sebagai emosi pasif atau sekadar hasil dari keadaan eksternal yang menyenangkan. Dalam konteks ini, rasa syukur dipahami sebagai sebuah proses aktif, sebuah cara berpikir yang memungkinkan ibu untuk menafsirkan pengalaman pengasuhan mereka dengan perspektif yang lebih positif dan konstruktif.
Dari segi metodologi, penelitian ini cukup kokoh dengan penggunaan berbagai instrumen yang telah divalidasi, seperti Mindfulness in Parenting Questionnaire (MIPQ) dan Self-Efficacy Parental Task Index (SEPTI). Meskipun demikian, ada beberapa keterbatasan yang patut dicermati. Salah satunya adalah penggunaan desain penelitian kuantitatif yang, meskipun memungkinkan analisis statistik yang lebih objektif, tetap tidak sepenuhnya mampu menangkap nuansa emosional dan pengalaman subjektif para ibu dalam keseharian mereka. Pendekatan kualitatif, misalnya melalui wawancara mendalam atau studi etnografi, dapat memberikan gambaran yang lebih kaya tentang bagaimana mindful parenting diterapkan dalam berbagai situasi nyata.
Selain itu, penelitian ini hanya berfokus pada ibu sebagai subjek utama, seolah-olah pengasuhan adalah domain eksklusif kaum perempuan. Ini adalah bias yang sering ditemukan dalam studi parenting di Indonesia, di mana peran ayah dalam pengasuhan masih kurang mendapat perhatian akademik yang memadai. Padahal, mindful parenting bukan hanya tanggung jawab ibu semata, melainkan sebuah pola interaksi yang idealnya melibatkan kedua orang tua. Studi mendatang sebaiknya memasukkan perspektif ayah, atau bahkan melihat bagaimana dinamika keluarga yang lebih luas berkontribusi terhadap pengasuhan yang lebih sadar.
Implikasi dari temuan ini cukup luas. Jika rasa syukur benar-benar memainkan peran sentral dalam mindful parenting, maka intervensi yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan pengasuhan sebaiknya tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga pada pembentukan pola pikir yang lebih positif. Program-program pelatihan orang tua dapat memasukkan latihan refleksi syukur, yang tidak hanya membantu ibu mengatasi stres, tetapi juga memperkuat keterhubungan emosional mereka dengan anak-anak mereka. Selain itu, kebijakan sosial yang mendukung kesejahteraan ibu, seperti komunitas dukungan orang tua atau akses yang lebih baik ke layanan kesehatan mental, dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi penerapan mindful parenting.
Secara keseluruhan, penelitian ini menawarkan perspektif yang menarik tentang bagaimana faktor psikologis tertentu dapat berkontribusi terhadap kualitas pengasuhan yang lebih baik. Dengan menyoroti pentingnya rasa syukur sebagai penghubung antara dukungan sosial, self-compassion, dan efikasi diri dalam pengasuhan, studi ini mengajak kita untuk melihat pengasuhan tidak hanya sebagai serangkaian tindakan, tetapi sebagai sebuah pengalaman emosional dan psikologis yang lebih luas. Namun, seperti halnya setiap studi psikologi, hasil ini sebaiknya tidak dipandang sebagai kebenaran mutlak, melainkan sebagai langkah awal menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas peran orang tua dalam membentuk masa depan anak-anak mereka.