Setelah berpuasa selama satu bulan penuh, kini saatnya umat Muslim merayakan hari kemenangan yang kita kenal sebagai Hari Raya Idul Fitri. Idulfitri sering disebut dengan Lebaran atau berlebaran, dan istilah yang paling ikonik adalah "hari kemenangan." Namun, jika kita mau jujur, Idulfitri sebenarnya bukan hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang kekalahan.
Pernyataan ini mungkin terdengar paradoksal, tetapi demikianlah kenyataannya. Idulfitri adalah momen perayaan kemenangan yang sekaligus bisa menjadi refleksi atas kekalahan. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Saya teringat dengan nasihat Danarto dalam karyanya Cahaya Rasul. Ia berkata, "Hari Raya Lebaran sebagai hari kemenangan bagaikan pisau bermata dua. Pada satu sisi, ia memperlihatkan kemenangan, sedangkan pada sisi lain, ia menampakkan kekalahan."
Kita bangga dengan sebutan kemenangan karena telah melewati berbagai ujian saat berpuasa di bulan Ramadan. Kita mampu menahan lapar, haus, tidak bergunjing, menahan hawa nafsu, serta menjauhi berbagai godaan. Bahkan, kualitas ibadah kita meningkat, seperti shalat fardhu yang lebih terjaga, sering berjamaah, memperbanyak shalat sunnah, membaca Al-Qur’an, mengikuti tarawih, tadarusan, dan sebagainya.
Wajar jika kita menyambut Idulfitri dengan perasaan kemenangan—menang karena mampu mengendalikan diri dan meningkatkan ibadah. Namun, sering kali kemenangan ini terasa sia-sia ketika kebiasaan lama kembali dilakukan. Salah satunya adalah kebiasaan membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain, baik dalam lingkup keluarga maupun sosial. Situasi seperti ini kerap muncul saat berkumpul bersama keluarga besar dari berbagai perantauan. Di tengah perayaan kemenangan, momen ini bisa berubah menjadi sesi tanya jawab tentang pencapaian, yang justru menimbulkan tekanan bagi sebagian orang.
Saya pernah menonton sebuah iklan Lebaran yang sangat relevan dengan fenomena ini. Iklan tersebut menggambarkan ketakutan seseorang saat harus pulang ke kampung halaman karena takut ditanya berbagai hal, terutama tentang karir dan jodoh. Ketakutan semacam ini tidak hanya dialami oleh para perantau, tetapi juga oleh siapa pun yang merasa pencapaiannya belum sesuai dengan ekspektasi sosial.
Mungkin situasi ini terdengar sepele, tidak penting, atau bahkan dianggap berlebihan. Namun, bagi sebagian orang, hal ini sangatlah signifikan. Tekanan sosial semacam itu bisa memicu perasaan tidak percaya diri, bahkan dalam kasus yang lebih parah, menimbulkan rasa malu dan keterpurukan. Satu sisi ada yang menikmati kemenangan dengan penuh kebanggaan atas pencapaiannya, sementara di sisi lain ada yang merasa tertinggal dan terpaksa menelan pil pahit kekalahan, meskipun berada dalam suasana hari raya kemenangan.
Oleh karena itu, diperlukan sudut pandang baru dalam memaknai Idulfitri. Hari Raya Idul Fitri seharusnya menjadi momen untuk melepaskan segala bentuk keegoisan dan tuntutan terhadap validasi orang lain. Sebaliknya, hari ini seharusnya menjadi waktu untuk saling memberikan dukungan moral agar masing-masing individu dapat mencapai kesuksesan yang diimpikan.
Sebagai manusia, kita tentu tidak luput dari kesalahan dan dosa. Oleh karena itu, sebagai bukti bahwa kita benar-benar mencapai kemenangan, hendaknya kita rela melepaskan beban amarah, rasa kesal, kebencian, dan segala bentuk sakit hati yang mungkin masih bersarang dalam hati.
Pada akhirnya, kemenangan sejati bukan hanya tentang pencapaian individu, tetapi tentang bagaimana kita mampu menciptakan ruang yang lebih penuh empati dan pengertian bagi orang-orang di sekitar kita. Idulfitri bukan hanya perayaan pribadi, melainkan kesempatan untuk berbagi kebahagiaan tanpa tekanan sosial. Dengan semangat kebersamaan, mari kita jadikan Idulfitri sebagai momentum untuk saling menguatkan, bukan untuk membandingkan.
Akhirnya, dengan ketulusan hati, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah. Semoga doa terbaik senantiasa menyertai para pejuang keluarga, para pejuang bangsa, dan para pejuang penegak demokrasi.