Menghadapi Mental Down setelah Lebaran, Mengapa Itu Bisa Terjadi?

Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
Menghadapi Mental Down setelah Lebaran, Mengapa Itu Bisa Terjadi?
Ilustrasi siluet perempuan bersedih (pexels/Sally Kiknadze)

Setelah beberapa hari penuh kebahagiaan selama Lebaran, saya sering kali merasakan perubahan suasana hati yang cukup drastis begitu semuanya berakhir. Suasana ramai, pertemuan dengan keluarga, dan kebahagiaan yang terjalin di hari raya tiba-tiba menghilang begitu cepat. Saya mengingat betul, setelah sepekan penuh berbagi kebahagiaan, ada perasaan kosong yang datang begitu Hari Raya selesai. Rasanya, energi positif yang sebelumnya mengalir deras, tiba-tiba terhenti.

Mungkin ini adalah pengalaman yang umum dirasakan banyak orang. Euforia Lebaran yang datang dengan segala kegembiraan membuat kita merasa terhubung dengan orang-orang terdekat, dengan komunitas, dan keluarga. Tetapi, setelah itu, saya merasakan adanya kesepian yang mulai menghampiri begitu rutinitas kembali memanggil. Selama liburan, saya merasa bebas dari segala tekanan pekerjaan dan tanggung jawab akademik, namun setelah liburan berakhir, tugas yang menumpuk seolah mengingatkan kembali bahwa semuanya harus segera dimulai lagi. Tak jarang, saya merasa cemas tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya—apakah saya siap untuk kembali beraktivitas dengan energi yang sama?

Salah satu hal yang saya rasakan cukup berat adalah kehilangan 'koneksi' yang seolah terbangun selama Lebaran. Saat itu, saya dikelilingi oleh keluarga, teman, dan kebahagiaan yang tiada henti. Tetapi, setelah semuanya berlalu, ada rasa terisolasi yang datang seiring kembalinya saya ke rutinitas yang sibuk. Tugas-tugas yang sempat tertunda karena liburan, dan tantangan pekerjaan yang kembali datang, membuat perasaan ini semakin kuat. Di saat seperti ini, saya sering merasa terbebani, berusaha menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan yang cepat kembali, setelah seminggu penuh di mana saya bisa lebih santai dan menikmati waktu bersama keluarga.

Setelah merasakan hal ini, saya menyadari bahwa perasaan cemas pasca Lebaran sering kali datang tanpa kita sadari. Pengeluaran yang besar selama mudik dan membeli hadiah, serta harapan yang belum tercapai, kadang-kadang mengintai pikiran saya. Ketika melihat orang-orang lain yang tampaknya 'sudah siap' menjalani kehidupan setelah liburan, saya pun merasa tertekan, seolah saya belum siap menghadapi kenyataan dan harus segera beradaptasi dengan segala tuntutan yang datang.

Namun, meskipun tantangan ini terasa berat, saya belajar untuk memberi diri saya waktu untuk beradaptasi. Salah satu hal yang saya coba lakukan adalah memberi ruang pada diri sendiri untuk merasakan segala emosi tersebut. Menghadapi kenyataan bahwa saya tidak perlu langsung 'baik-baik saja' setelah liburan menjadi hal yang sangat penting bagi saya. Sesuai dengan yang saya baca dari American Psychological Association (APA), ternyata perasaan cemas dan tidak nyaman pasca liburan adalah hal yang wajar dan memerlukan waktu untuk bisa kembali menyesuaikan diri. Saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri dan memberi kesempatan untuk beradaptasi sedikit demi sedikit.

Selain itu, saya menemukan pentingnya mengatur ekspektasi. Jangan terlalu terbebani dengan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan begitu Lebaran berakhir. Saya mencoba untuk memulai dengan hal-hal kecil, seperti kembali menyusun jadwal yang sempat terlupakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda sedikit demi sedikit. Mengatur waktu dengan bijak, dan memberi diri ruang untuk tidak selalu 'sempurna', ternyata membantu saya merasa lebih terkendali.

Berbicara dengan teman atau keluarga juga menjadi cara yang efektif untuk menjaga kesehatan mental saya. Saya mulai lebih sering berbagi perasaan, baik itu tentang rasa cemas atau tentang perasaan kesepian yang muncul setelah kesibukan Lebaran. Terkadang, hanya dengan bercerita, saya merasa jauh lebih ringan dan lebih bisa menerima kenyataan. Jangan lupa juga untuk menjaga gaya hidup sehat, seperti makan dengan gizi yang cukup, tidur yang berkualitas, dan berolahraga. Aktivitas seperti berjalan kaki atau yoga, yang saya coba lakukan, ternyata sangat membantu meredakan stres dan memperbaiki suasana hati.

Saya mulai menyadari pentingnya rasa syukur meskipun rutinitas sudah kembali. Lebaran mungkin sudah berlalu, tapi kenangan dan kebahagiaan yang didapatkan bisa dijadikan pemicu semangat untuk menjalani rutinitas. Saya belajar untuk melihat pekerjaan sebagai proses yang bisa dinikmati, bukan hanya sebagai beban. Semua itu memerlukan sikap yang lebih positif dan penuh syukur agar kesehatan mental tetap terjaga.

Menghadapi tantangan mental pasca Lebaran memang bukan hal yang mudah. Namun, dengan memberi ruang bagi diri sendiri untuk beradaptasi, serta tidak ragu mencari dukungan jika dibutuhkan, saya percaya bahwa kita semua bisa melewati masa transisi ini dengan lebih baik. Kesehatan mental kita adalah hal yang sangat berharga, dan dengan perhatian yang tepat, kita bisa kembali menyesuaikan diri setelah euforia Lebaran berakhir.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak