Fenomena Pekerja Ordal: Sebuah Jalan Pintas atau Jebakan Etika?

Hayuning Ratri Hapsari | Inggrid Tiana
Fenomena Pekerja Ordal: Sebuah Jalan Pintas atau Jebakan Etika?
Pekerja berjalan sepulang bekerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (14/5/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Di tengah ketatnya persaingan dunia kerja saat ini, istilah orang dalam sering kali menjadi topik pembicaraan yang hangat, bahkan mungkin menjadi desas-desus yang akrab di telinga kita.

Konon, memiliki orang dalam bisa memuluskan jalan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, promosi, atau kesempatan tertentu yang sulit diraih melalui jalur biasa. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah fenomena orang dalam ini sebenarnya baik atau buruk? 

Secara jujur, praktik orang dalam ini sudah menjadi rahasia umum di banyak negara, termasuk Indonesia. Ada anggapan bahwa kenal siapa mungkin lebih penting daripada tahu apa. Namun, seperti dua sisi mata uang, keberadaan orang dalam ini membawa implikasi yang kompleks, baik bagi orang yang memanfaatkannya maupun bagi sistem secara keseluruhan.

Mengapa banyak orang terkadang merasa perlu atau bahkan tertarik untuk mencari orang dalam? Salah satu alasannya adalah akses informasi dan peluang yang lebih cepat. Memiliki koneksi di dalam suatu organisasi sering kali berarti mendapatkan bocoran tentang lowongan pekerjaan yang belum diiklankan secara publik, posisi yang akan kosong, atau bahkan detail proyek-proyek tertentu.

Hal ini tentu saja memberikan keuntungan besar untuk mempersiapkan diri atau menjadi yang pertama mengajukan diri, dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan informasi umum.

Selain itu, rekomendasi dari orang dalam bisa menjadi gerbang pembuka. Di tengah tumpukan ratusan atau bahkan ribuan lamaran yang masuk untuk satu posisi, sebuah rekomendasi internal bisa menjadi filter pertama yang membuat lamaran seseorang setidaknya mendapatkan panggilan wawancara.

Hal ini bukan jaminan diterima, namun setidaknya membuka pintu yang mungkin sulit dibuka jika hanya mengandalkan kekuatan CV semata. Ada juga elemen kepercayaan awal yang terbentuk, perusahaan cenderung lebih menaruh kepercayaan pada kandidat yang direkomendasikan oleh karyawan internal yang sudah terbukti memiliki reputasi baik.

Orang dalam bisa berfungsi sebagai semacam penjamin awal, yang mengurangi risiko bagi perekrut karena ada referensi internal yang sudah dikenal.

Tidak hanya itu, jika seseorang diterima melalui jalur orang dalam, proses adaptasi di lingkungan baru mungkin akan lebih mulus. Sudah ada kontak di dalam yang bisa membantu navigasi budaya perusahaan, memperkenalkan ke rekan kerja, atau sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan awal yang mungkin canggung untuk ditanyakan pada atasan langsung.

Hal ini adalah bentuk networking yang efektif, membangun jaringan yang luas dan penting dalam dunia profesional. Jaringan semacam ini, bahkan tanpa secara langsung mencari pekerjaan, bisa membuka berbagai peluang di masa depan, entah itu untuk kolaborasi, mentoring, atau sekadar mendapatkan insight industri yang berharga.

Dari perspektif ini, memanfaatkan orang dalam bisa dianggap sebagai bentuk optimalisasi jaringan pertemanan atau profesional untuk mencapai tujuan karier.

Namun, di balik semua potensi keuntungan tersebut, sisi negatif dari praktik orang dalam jauh lebih sering menjadi sorotan karena implikasinya yang merusak dan tidak etis. Sistem ini sering kali mengikis keadilan dan prinsip meritokrasi.

Meritokrasi, yaitu seleksi berdasarkan kemampuan dan prestasi terbaik, menjadi terpinggirkan. Seseorang yang sebenarnya lebih kompeten bisa saja tersingkir oleh mereka yang hanya punya koneksi, bahkan jika kualifikasinya di bawah standar. Hal ini secara langsung menciptakan sistem yang tidak adil bagi semua pelamar.

Dampak selanjutnya adalah penurunan kualitas dan produktivitas. Jika seseorang diterima bukan murni karena kemampuannya, ada risiko besar bahwa orang tersebut tidak memiliki kualifikasi yang benar-benar dibutuhkan untuk pekerjaan itu. Hal ini bisa berdampak langsung pada kualitas hasil kerja, efisiensi tim, dan pada akhirnya merugikan perusahaan atau organisasi secara keseluruhan.

Lebih jauh, praktik orang dalam dapat mengarah pada konflik kepentingan dan nepotisme yang terang-terangan. Ketika keluarga atau teman dekat diberi perlakuan istimewa tanpa dasar yang jelas, hal ini dapat merusak suasana kerja.

Karyawan lain yang telah bekerja keras dan berusaha naik melalui jalur yang benar bisa merasa frustrasi dan tidak dihargai. Moral seluruh tim bisa menurun drastis, menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan penuh kecurigaan.

Bagi sebuah organisasi, praktik orang dalam yang terlalu sering atau jelas-jelas tidak adil juga dapat merusak reputasi mereka di mata publik dan calon karyawan. Kepercayaan terhadap proses rekrutmen atau promosi akan menurun drastis, membuat mereka kesulitan menarik talenta berkualitas di masa depan.

Bahkan bagi orang yang mendapatkan posisi melalui orang dalam, ada potensi beban moral dan tekanan mental. Mereka mungkin selalu merasa terbebani untuk membuktikan diri agar tidak dicap sebagai "titipan", atau bahkan mereka sendiri merasa tidak pantas, yang pada akhirnya bisa berdampak negatif pada  performa kerja.

Jadi, sebenarnya, apakah bekerja dengan orang dalam itu mutlak buruk? Batasan antara baik dan buruk dari praktik ini terletak pada etika dan dampaknya.

Jika orang dalam hanya memberikan informasi tentang peluang, atau sekadar memberikan rekomendasi awal namun kandidat tetap harus melewati seluruh proses seleksi dan membuktikan kompetensinya secara mandiri dan transparan, maka ini bisa dianggap sebagai bagian dari networking yang sehat.

Apalagi jika kandidat yang direkomendasikan memang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang setara atau bahkan lebih baik dari kandidat lain.

Namun, praktik orang dalam menjadi buruk dan tidak etis jika orang dalam memberikan jaminan posisi tanpa proses seleksi yang adil atau kandidat tidak memenuhi kualifikasi.

Lebih parah lagi jika ada manipulasi data atau informasi untuk memuluskan jalan seseorang yang tidak kompeten, atau jika praktik ini jelas-jelas merugikan kandidat lain yang lebih kompeten dan mengarah pada nepotisme serta kolusi yang merusak integritas organisasi.

Fenomena ini adalah cerminan kompleks dari interaksi sosial dan sistem dalam dunia kerja. Meskipun koneksi dan jaringan memang penting dalam perjalanan karier, integritas dan kompetensi harus tetap menjadi prioritas utama.

Bagi kaum pekerja, penting untuk tidak hanya mengandalkan orang dalam tetapi juga terus mengasah skill dan kemampuan diri. Jaringan hanya akan efektif jika kamu sendiri memiliki nilai dan kualitas yang bisa ditawarkan.

Bagi organisasi, membangun sistem rekrutmen dan promosi yang transparan dan berbasis meritokrasi adalah kunci untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik, serta membangun budaya kerja yang adil dan sehat.

Pada akhirnya, fondasi sebuah karier atau organisasi yang kuat harus selalu dibangun di atas kemampuan, bukan hanya koneksi semata.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak