“Kadang-kadang orang terlalu pintar malah nggak jadi apa-apa.”
Kalimat itu diungkapkan Presiden Prabowo Subianto dalam sebuah pidato yang menyentuh isu ketahanan pangan dan pentingnya pejabat yang dekat dengan rakyat. Ia menunjuk satu per satu pejabat yang hadir, bukan lulusan luar negeri, bukan jebolan kampus top dunia. “Ini orang kampung semua,” katanya.
Kesan yang muncul jelas. Di negeri ini, yang penting bukan seberapa tinggi pendidikanmu, tapi seberapa masuk akal dirimu. Bahkan menurut Prabowo, kebijakan terbaik bukan berasal dari orang terlalu pintar, tapi dari mereka yang punya akal sehat dan cinta pada rakyat.
Sepintas, pernyataan ini terdengar membumi. Bahwa tak perlu sekolah tinggi untuk mengabdi. Namun jika ditelaah lebih jauh, ada sindiran halus yang menyakitkan bagi mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi dengan susah payah. Bahwa kepintaran bisa menjadi beban, bukan bekal.
Dan yang menyedihkan, Prabowo tidak sepenuhnya salah. Realitanya, orang pintar di negeri ini seringkali dianggap omon-omon belaka. Banyak yang bicara data, analisis, dan konsep canggih, tapi dicibir karena dianggap tidak membumi. Bahkan mantan Presiden Jokowi pernah bilang, banyak magister yang berakhir jadi tukang sapu.
Data dari Ikatan Guru Indonesia (IGI) menunjukkan bahwa lulusan S2 dan S3 hanya 0,45 persen dari total populasi. Namun, lapangan kerja untuk mereka sangat terbatas. Di Bandung, sepanjang 2023, hanya tersedia 91 lowongan kerja untuk S2. Bandingkan dengan 3.553 lowongan untuk S1, dan 5.067 untuk SMA atau SMK.
Kita menyekolahkan anak setinggi langit, tapi negara tak menyediakan ruang bagi sayap mereka untuk mengepak. Lulusan master dan doktor bukan hanya tak diserap, mereka ditinggalkan. Maka tak heran jika banyak dari mereka memilih untuk kabur.
Jumlah diaspora Indonesia di luar negeri meningkat hampir 40 persen dalam 14 tahun terakhir. Dari 3,35 juta orang pada 2010 menjadi 4,69 juta pada 2024. Mereka pergi lewat beasiswa, visa kerja, pernikahan, hingga jalur migrasi informal. Tagar kaburajadulu yang viral di media sosial bukan sekadar candaan, melainkan bentuk keputusasaan generasi muda terhadap tanah airnya sendiri.
Di saat negara lain berlomba-lomba menarik kembali putra-putri terbaiknya, kita justru mewajarkan kepergian mereka. Kita rayakan kesederhanaan dan akal sehat, tapi lupa bahwa dunia yang kita hadapi kini bukan lagi dunia yang sederhana.
Inilah yang disebut oleh banyak pengamat sebagai matinya kepakaran. Ketika suara ahli tak lagi dianggap penting. Ketika data dan analisis disingkirkan oleh intuisi, dan pendidikan tinggi disepelekan oleh retorika populis. Kita hidup di era di mana kecerdasan intelektual dicurigai, dan yang dianggap bermanfaat justru yang bisa menghibur atau membaur.
Padahal, dalam menghadapi krisis pangan, perubahan iklim, disrupsi teknologi, dan ketimpangan sosial, kita justru butuh kebijakan yang berbasis pengetahuan. Kita perlu orang-orang pintar. Bukan dalam arti gelar semata, tapi mereka yang menguasai bidangnya dan mampu merumuskan solusi jangka panjang.
Akar masalahnya bukan pada kepintaran itu sendiri, tapi pada sistem yang belum memberi tempat pada kepakaran. Yang dihargai adalah siapa yang dekat dengan kekuasaan, bukan siapa yang punya solusi berbasis riset. Maka, wajar jika Prabowo berkata seperti itu. Karena di sistem kita sekarang, orang pintar memang seringkali tak jadi apa-apa. Bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena tidak diberi ruang.
Jadi, mari kita akui. Ya, Pak Prabowo benar. Di Indonesia, kadang orang terlalu pintar memang tidak jadi apa-apa. Kalau orang pintar tak punya tempat di negeri ini, siapa yang sebenarnya perlu kita perbaiki? Orangnya, atau negerinya?