Taman itu masih berdiri. Tak seluas istana, tak setinggi gedung dewan, namun di sanalah dahulu suara perubahan tumbuh dari akar bambu dan semangat merdeka. Ki Hajar Dewantara menamainya "Taman Siswa" bukan sekadar tempat belajar, melainkan ladang perjuangan.
Di taman itu, pendidikan dimaknai sebagai usaha memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan rakyat. Mengutip dari situs resmi Tamansiswa Pusat (2023), Ki Hajar Dewantara menulis bahwa "Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat)."
Kini, saya berdiri di bawah bayang taman itu. Indonesia telah merdeka, tetapi apakah politiknya telah benar-benar membebaskan? Atau justru kita telah kehilangan suara-suara seperti Ki Hajar, yang dulu menulis dengan tinta perlawanan bukan kalkulasi elektoral?
Politik Hari Ini Tak Lagi Mendidik
Politik Indonesia kontemporer tampak kehilangan esensinya sebagai sarana pendidikan publik. Alih-alih menjadi ruang pembelajaran dan pencerahan, politik kini lebih sering diwarnai oleh pragmatisme dan transaksi kekuasaan.
Fenomena politik uang, misalnya, menjadi bukti nyata bagaimana nilai-nilai edukatif dalam politik tergerus oleh kepentingan sesaat. Prof. Burhanuddin Muhtadi dalam penelitiannya "Votes For Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi" (dikutip dari uinjkt.ac.id, 2023) mengungkap bahwa praktik jual beli suara telah merusak tatanan demokrasi dan mencederai proses pendidikan politik masyarakat.
Lebih lanjut, pendidikan yang seharusnya menjadi alat pembebasan malah dijadikan komoditas politik. Kurikulum seringkali berubah sesuai dengan kepentingan penguasa, bukan berdasarkan kebutuhan nyata peserta didik.
Sekolah-sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih menghadapi tantangan besar dalam hal aksesibilitas dan kualitas pendidikan. Puan Maharani dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional menyoroti ketimpangan ini dan menyatakan bahwa banyak anak-anak di daerah 3T yang masih sulit mengakses bangku sekolah karena jarak yang jauh serta infrastruktur yang tidak memadai.
Pendidikan yang Tak Lagi Membebaskan
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan seharusnya memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan rakyat. Namun, realitas saat ini menunjukkan bahwa pendidikan justru menjadi alat penjinakan, bukan pembebasan. Komersialisasi pendidikan menjadikan sekolah sebagai ladang bisnis, bukan lagi taman bagi siswa untuk tumbuh sesuai kodratnya. Kurikulum yang sering berubah tanpa arah jelas mencerminkan betapa pendidikan kita lebih tunduk pada dinamika politik daripada kebutuhan peserta didik.
Ketimpangan akses pendidikan semakin memperparah keadaan. Anak-anak di daerah 3T masih menghadapi kesulitan besar dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Infrastruktur yang minim, jarak tempuh yang jauh, dan kurangnya tenaga pendidik berkualitas menjadi hambatan utama. Disadur dari Kompas.id (2023), menikmati pendidikan berkualitas untuk bekal masa depan yang lebih baik masih menjadi barang mewah bagi anak-anak di daerah 3T.
Dibungkamnya Suara Kritis
Sejarah mencatat bagaimana Ki Hajar Dewantara diasingkan karena tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial. Ia memahami bahwa kebebasan berpendapat adalah esensi dari pendidikan yang memerdekakan. Namun, kini, suara-suara kritis kerap dibungkam atas nama stabilitas dan ketertiban.
Amnesty International Indonesia mengungkap bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah serangan terhadap pembela hak asasi manusia, dengan 268 kasus yang tercatat meningkat 63 persen dibanding tahun sebelumnya (dikutip dari Kompas, 2024).
Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang untuk berpikir kritis dan menyuarakan pendapat semakin sempit. Padahal, tanpa kebebasan berpendapat, pendidikan tidak akan mampu menjalankan perannya sebagai alat pembebasan.
Politik yang Kehilangan Arah Etis dan Estetis
Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya peran pemimpin sebagai pamong yang mengayomi dan menjadi teladan bagi rakyatnya. Namun, saat ini, banyak pemimpin yang lebih mementingkan citra dan kepentingan pribadi daripada melayani masyarakat.
Gaya hidup mewah dan hedonistik di kalangan elite politik menjadi sorotan dan menciptakan jurang pemisah antara pemimpin dan rakyat. Disadur dari Instagram resmi Tirto.id (2024), Haedar Nashir menilai bahwa gaya hidup berlebihan tak hanya berpeluang terjadi di kalangan individu, tetapi juga bisa merambah ke elite politik, ekonomi, hingga keagamaan.
Kesenjangan ini mencerminkan hilangnya nilai-nilai etis dan estetis dalam politik. Pemimpin seharusnya menjadi teladan dalam kesederhanaan dan integritas, bukan justru mempertontonkan kemewahan di tengah penderitaan rakyat.
Menyalakan Kembali Suara dari Taman
Mengembalikan politik sebagai alat pendidikan publik memerlukan upaya bersama untuk menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang diperjuangkan Ki Hajar Dewantara. Pendidikan harus dikembalikan pada esensinya sebagai alat pembebasan, bukan penjinakan. Pemimpin harus kembali menjadi pamong yang mengayomi, bukan sekadar pejabat yang haus kekuasaan.
Sebagai individu, kita juga memiliki peran dalam menyalakan kembali suara-suara dari taman. Kita dapat menulis, berbicara, dan bertindak dalam semangat Ki Hajar Dewantara mendidik dengan hati, memimpin dengan teladan.
Maka jika hari ini politik kehilangan ruh pendidikannya,
barangkali kita tak sedang memimpin—kita hanya sedang menjual suara.
Jika sekolah hari ini tak lagi jadi taman,
barangkali kita lupa:
bahwa bangsa ini dulu dibangun dari meja tulis, bukan panggung kampanye.
Dan jika suatu saat nanti anak-anak kita takut bersuara,
barangkali bukan karena mereka bodoh,
tapi karena kita telah gagal mengajarkan bahwa
menulis adalah juga melawan.
Saya pun bertanya—dan barangkali Anda pun akan bertanya:
Masihkah kita layak menyebut Ki Hajar sebagai Bapak Bangsa,
jika kita sendiri mengkhianati taman yang ia tanam?
Sumber:
- Ki Hajar Dewantara. "Pengaruh Pengajaran Itu Umumnya Memerdekakan Manusia atas Hidupnya Lahir, Sedang Merdekanya Hidup Batin Terdapat dari Pendidikan." Tamansiswa Pusat, 2023.
- Muhtadi, Burhanuddin. "Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi." UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2023. uinjkt.ac.id.
- Puan Maharani. "Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru." Kompas.com, 2 Mei 2024.
- Hamid, Usman. "Amnesty International Indonesia Ungkap 268 Pembela HAM Diserang Sepanjang 2023." Kompas.com, 1 Februari 2024.
- Haedar Nashir. "Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, Menyoroti Gaya Hidup Berlebihan di Kalangan Elite." Instagram, 2024.