Fenomena Brain Rot: Pembusukan Otak karena Sering Konsumsi Konten Receh

Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Fenomena Brain Rot: Pembusukan Otak karena Sering Konsumsi Konten Receh
Ilustrasi orang bermain media sosial (pexels.com/kaboompics.com)

Di tengah kemajuan teknologi dan masifnya media sosial, istilah 'brain rot' mulai populer digunakan oleh generasi muda, terutama di platform TikTok, Twitter, dan Instagram.

Istilah ini sering dipakai secara sarkastik untuk menggambarkan perasaan tumpul, kosong, dan kurang fokus setelah berjam-jam mengonsumsi konten receh, dan tidak memberikan nilai substansial.

Meskipun terdengar lucu atau sekadar candaan, fenomena 'brain rot' sebenarnya menyimpan dampak psikologis yang serius. Jika dibiarkan, kebiasaan ini bisa memengaruhi cara kita berpikir, berinteraksi, bahkan memproses informasi.

Definisi Brain Rot

Ilustrasi seseorang mengalami brain rot (pexels.com/mikoto.raw photographer)
Ilustrasi seseorang mengalami brain rot (pexels.com/mikoto.raw photographer)

Istilah 'Brain Rot' secara harfiah berarti 'pembusukan otak'. Dalam budaya digital, istilah ini merujuk pada kondisi mental ketika seseorang terlalu sering mengonsumsi konten dangkal secara berulang-ulang sehingga menurunkan fungsi kognitif, seperti daya fokus, kemampuan berpikir kritis, dan minat pada hal-hal mendalam.

'Brain rot' adalah istilah yang digunakan orang untuk menggambarkan perasaan tidak bersemangat atau mati rasa, yang dialami saat mengonsumsi terlalu banyak konten berkualitas rendah secara berulang-ulang.

Adapun konten receh yang dimaksud bisa berupa meme absurd tanpa konteks, video viral dengan humor ekstrem, shitposting atau konten satir berlebihan, dan drama seleb TikTok hingga gosip tak berujung.

Brain Rot Akibat Konten Durasi Pendek

Man in White Shirt Using Macbook Pro (pexels.com/Tim Gouw)
Ilustrasi seseorang mengalami brain rot (pexels.com/Tim Gouw)

Masifnya media sosial saat ini menjadikan banyaknya konten receh di mana-mana. Mulai dari TikTok hingga Instagram, setiap orang seolah berlomba-lomba untuk menciptakan konten video. Sayang sekali konten-konten berdurasi pendek tersebut kebanyakan tidak memiliki nilai substansial.

Dikutip dari laman Irish Examiner, kata 'brain rot' digunakan pertama kali oleh penulis Amerika Henry David pada 1854 dalam bukunya Walden. Menurut Touroni, 'pembusukan otak' menggambarkan pengalaman bersama di dunia hyper digital. Kondisi ini membuat banyak orang merasa terpaku pada layar.

Dengan maraknya konten berdurasi pendek, seperti TikTok dan Instagram Reels, dan meningkatnya waktu yang dihabiskan secara daring, istilah tersebut telah menarik perhatian.

Mengapa Brain Rot Terjadi?

Sad mature businessman thinking about problems in living room (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Ilustrasi seseorang mengalami brain rot (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Algoritma media sosial, budaya hustle, hingga FOMO menjadi alasan mengapa 'brain rot' kerap terjadi. Algoritma media sosial yang dirancang untuk membuat pengguna terus menerus mengonsumsi konten pendek.

Platform seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels secara otomatis menyajikan video yang sesuai dengan minat pengguna dalam waktu singkat, sehingga otak terus di bombardir oleh rangsangan tanpa henti.

Hal ini membuat otak terbiasa dengan stimulasi cepat dan kehilangan kemampuan untuk fokus dalam jangka waktu panjang.

Selain itu, budaya hustle dan tekanan hidup sehari-hari juga mendorong banyak orang untuk mencari pelarian melalui hiburan receh.

Konten ringan dianggap sebagai cara mudah untuk melepas stres, namun ketika dikonsumsi secara berlebihan, justru berisiko memperburuk kondisi mental dan emosional.

Di sisi lain, fenomena Fear of Missing Out (FOMO) turut memperparah keadaan. Rasa takut tertinggal tren atau pembahasan viral membuat seseorang merasa harus selalu update dengan konten-konten terbaru, meskipun sebenarnya tidak bermakna.

Akibatnya, banyak orang terjebak dalam siklus konsumsi konten yang dangkal dan berulang-ulang, yang pada akhirnya melemahkan kemampuan berpikir kritis.

Cara Atasi Brain Rot

Low Angle View of Woman Relaxing on Beach Against Blue Sky (pexels.com/Chevanon Photography)
LIlustrasi seseorang mengatasi brain rot (pexels.com/Chevanon Photography)

1. Batasi Konsumsi Konten Instan

Salah satu langkah paling mendasar namun efektif untuk mengatasi 'brain rot' adalah dengan membatasi konsumsi konten instan.

Di era media sosial saat ini, kita sering kali tidak menyadari betapa cepat waktu berlalu saat edang scrool TikTok, YouTube Shorts, atau Reels. Hal ini disebabkan oleh desain algoritma yang memang dibuat untuk mempertahankan perhatian kita selama mungkin.

2. Pilih Konten Berkualitas 

Tidak semua konten digital buruk atau merusak. Justru, banyak konten edukatif, inspiratif, dan mendalam yang bisa memperkaya pengetahuan serta membuka perspektif baru. Maka dari itu, penting untuk mulai mengkurasi isi media sosial kita.

3. Lakukan Digital Detox Ringan

Digital detox bukan berarti harus sepenuhnya lepas dari teknologi, tetapi lebih pada mengatur ulang hubungan kita dengan dunia digital.

Salah satu cara yang efektif adalah dengan menjadwalkan waktu untuk benar-benar bebas dari media sosial dan layar gadget, misalnya satu hari dalam seminggu atau beberapa jam dalam sehari.

Fenomena 'brain rot' bukan sekadar tren meme atau istilah generasi Z semata. Hal ini adalah refleksi dari perubahan pola pikir dan gaya hidup akibat paparan konten instan yang terus menerus. Konsumsi konten receh memang bisa menghibu, tetapi jika berlebiihan, justru membuat otak lelah, tidak produktif, dan kehilangan esensi berpikir kritis.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak