“Dengan adanya budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya.” Ki Hadjar Dewantara
Pendidikan dan politik adalah dua hal yang berkaitan. Dengan mengemban amanah belajar, pendidikan akan melahirkan masyarakat yang mampu berpikir dari berbagai sudut pandang, termasuk bagaimana menyikapi persoalan politik.
Dengan menderasnya fakta ini, masyarakat dari masa ke masa terus berusaha mengabdi pada perkembangan pendidikan di Indonesia, termasuk tentang bagaimana menghasilkan manusia yang mampu berpikir secara mandiri dan tak mudah dimanipulasi secara politik. Salah satu aktivis yang gencar mempertahankan nilai dan budaya pendidikan Indonesia adalah Ki Hadjar Dewantara.
Sosok di balik Taman Siswa ini memiliki prinsip bahwa manusia harus merdeka secara pribadi, karena kemerdekaan itu nantinya akan melahirkan ide dan inovasi yang membangun. Meski begitu, beliau juga menetapkan bahwa segala jenis ilmu yang didapat akan sia-sia jika tak diemban dengan budi pekerti yang luhur.
Beradab dalam konteks pendidikan berarti mengemban nilai-nilai moral pada diri manusia. Menurut Samudra (2023), Adab merupakan manifestasi karakter tiap manusia, yang mana kecerdasan tiap individu sangat dinilai melalui karakter atau sifat yang ia miliki.
Dengan cakapnya seseorang mengolah karakter serta emosinya, hal ini mempermudah ilmu untuk terus berkembang dalam hatinya, yang mana selaras dengan prinsip yang dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara. Meskipun telah terpatri puluhan tahun silam, hal ini sangatlah penting di era saat ini, melihat perkembangan zaman dan teknologi secara masif memengaruhi pola pikir masyarakat, khususnya anak muda yang masih mengenyam pendidikan dasar.
Saat ini, teknologi terus menjamur bahkan hingga ke ranah pendidikan. Para siswa di era digital ini bergantung terus menerus terhadap eksistensi teknologi. Melalui gadget, akses teknologi yang cepat dan luas memberikan banyak sekali referensi berita, tren, bahkan variasi media sosial yang sangat banyak.
Meski hal ini mempermudah akses global, penggunaan teknologi kini dianggap menjadi salah satu faktor dari degradasi moral yang terjadi di kalangan siswa (Abidah, 2023). Dilansir dari artikel Radio Republik Indonesia (2024), digitalisasi sedikit banyak mengancam perilaku dan pendidikan siswa, khususnya mereka yang berada di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama, yang belum mampu melakukan filtrasi terhadap konten digital dengan baik.
Adanya digitalisasi memengaruhi sikap dan pola pikir anak muda, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kita dapat mengacu pada maraknya konten tak terbatas, termasuk pornografi, pun kekerasan yang saat ini masih sulit dipantau. Adanya konten yang tak linear dengan tujuan pendidikan itu sendiri nantinya memberikan dampak pada siswa yang menormalisasi hal-hal terkait.
Selain itu, maraknya informasi yang tak terbendung dan variasi media sosial menjadi ladang bebas bagi anak muda untuk mendapat berbagai paparan konten yang tidak bermoral atau hanya sekedar mengikuti tren.
Wulandari, dkk (2021) berpendapat bahwa tren yang beredar di media sosial saat ini mengalihkan fokus belajar dan cenderung memberi potensi buruk terhadap moral siswa, seperti kurangnya kepatuhan pada guru, keinginan untuk bersikap yang tidak sesuai dengan umurnya, dan aspek life-span yang sangat singkat sehingga mengganggu proses pengenalan literasi pada masa prima siswa.
Hal ini tentunya menciptakan kesulitan bagi para pendidik dan tidak selaras dengan prinsip Ki Hadjar Dewantara, di mana beliau menekankan bahwa guru merupakan jembatan ilmu yang berpartisipasi aktif membentuk karakter siswa demi pendidikan cemerlang dan berkepanjangan.
Dengan mengadopsi prinsip Ki Hadjar Dewantara dalam membina Taman Siswa, pendidikan berkarakter yang didasari budi pekerti memungkinkan manusia mengolah informasi dengan baik dan menghadapi tantangan zaman, termasuk merespon ranah politik dengan bijak.
Dalam semangat Taman Siswa, politik bukan semata-mata perebutan kuasa ataupun demonstrasi tak terarah, melainkan ruang untuk memperjuangkan kepentingan rakyat secara beretika. Lalu bagaimana menyelaraskan edaran teknologi demi mendapat konsentrasi pendidikan dan politik yang beradab?
Sugiarto dan Farid (2020) dalam Jayapangus Press berpendapat bahwa literasi digital saat ini merupakan urgensi yang harus diemban oleh seluruh masyarakat dari tiap generasi. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga tentang memahami etika dalam berinteraksi di dunia digital, mengenali informasi yang valid, dan menghindari penyebaran hoaks.
Oleh karena itu, masyarakat berpendidikan harus menjadi teladan dalam membedakan opini dan fakta, serta mengedepankan prinsip moral di atas kepentingan kelompok semata. Hal ini nantinya akan memberikan cerminan baik pada siswa yang sedang mengemban pendidikan dasar dan menjadi tiang generasi emas Indonesia di masa depan.
Pada akhirnya, masyarakat saat ini perlu lebih banyak menautkan refleksi terhadap keadaan yang terjadi di lapangan, baik dari sisi pendidikan maupun politik. Sebagaimana telah diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara, untuk berpolitik dengan bijak, akar pendidikan harus dibina dengan penguatan budi pekerti terlebih dahulu.
Seorang manusia yang beradab akan mampu mengolah informasi dengan bijak, membedakan yang benar dan salah, serta tak mudah terprovokasi oleh kepentingan politik sesaat. Dalam refleksi ajaran Taman Siswa, pendidikan seharusnya melahirkan pribadi yang "merdeka", yakni pribadi yang dapat memerintah dirinya sendiri dan tidak menjadi boneka propaganda. Maka, ketika pendidikan mampu membentuk masyarakat yang beradab dan melek literasi digital, di situlah masa depan politik bangsa dapat ditata dengan lebih bermartabat.
REFERENSI:
- Abidah. (2023). Dampak penggunaan gadget terhadap degradasi moral pelajar. Jurnal Pendidikan dan Konseling, 5(1). Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai.
e-ISSN: 2685-936X | p-ISSN: 2685-9351. - Artikel RRI. (2024). Bahaya dunia digitalisasi bagi anak usia sekolah. Radio Republik Indonesia (RRI).
- Samudra, M. J. (2023). Pendidikan adab dalam perspektif pemikiran Imam Nawawi dalam kitab At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Quran. Jurnal Pendidikan Indonesia (JOUPI), 1(3), 30–40. e-ISSN: 2986-7436 | p-ISSN: 2986-7428.
- Sugiarto, S., & Farid, A. (2023). Literasi digital sebagai jalan penguatan pendidikan karakter di era Society 5.0. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 6(3). Jayapangus Press. ISSN: 2615-0891.