Pemblokiran Rekening Dormant, Respons Publik dan Kebijakan yang Tergesa?

Hikmawan Firdaus | Yayang Nanda Budiman
Pemblokiran Rekening Dormant, Respons Publik dan Kebijakan yang Tergesa?
Ilustrasi akun perbankan.[Pexels.com/Tima Miroshnichenko]

Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir sementara rekening dormant atau rekening tidak aktif selama lebih dari tiga bulan memantik polemik di ruang publik. Di tengah upaya negara menutup celah kejahatan keuangan, khususnya praktik pencucian uang dan transaksi judi online, kebijakan ini justru mengundang beragam tanggapan dari masyarakat.

PPATK, dalam pernyataan resminya pada 23 Juli 2025 melalui akun Instagram @ppatk_indonesia, menyampaikan bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari strategi pencegahan terhadap penyalahgunaan rekening bank yang tidak aktif. Dalam sejumlah temuan, rekening dormant kerap dimanfaatkan untuk keperluan ilegal, seperti transaksi judi daring dan penampungan dana hasil kejahatan.

Kebijakan ini berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Melalui dasar hukum tersebut, PPATK menjalankan fungsi analisis dan penghentian sementara transaksi yang mencurigakan, termasuk rekening yang tidak menunjukkan aktivitas finansial dalam jangka waktu tertentu.

Secara teknis, rekening dormant bukanlah rekening ilegal. Ini adalah rekening sah milik nasabah, baik individu maupun badan usaha, yang tidak digunakan dalam kurun waktu tertentu umumnya tiga hingga dua belas bulan tergantung pada kebijakan masing-masing bank. Rekening tersebut mencakup tabungan, giro, maupun rekening dalam mata uang asing. Meskipun tidak aktif, dana di dalamnya tetap tersimpan dan tercatat dalam sistem perbankan.

PPATK menegaskan bahwa pemblokiran bersifat sementara dan tidak menghilangkan hak nasabah atas dana yang dimiliki. Bahkan, lembaga ini mengklaim, kebijakan tersebut berhasil menekan perputaran dana judi online hingga 70 persen. Deposit yang sebelumnya tercatat lebih dari Rp5 triliun kini turun menjadi sekitar Rp1 triliun.

Namun demikian, sejumlah catatan kritis mengemuka dari masyarakat. Minimnya sosialisasi sebelum kebijakan diterapkan menjadi sorotan utama. Tidak sedikit nasabah yang mengaku terkejut ketika mendapati rekening mereka tidak bisa diakses. Kebingungan kian meningkat karena definisi rekening dormant yang tidak seragam antarbank, serta kurangnya penjelasan prosedur reaktivasi.

Reaksi publik di media sosial pun beragam. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap progresif dalam menekan kejahatan finansial. Di sisi lain, muncul kekhawatiran soal transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan terhadap hak nasabah. Tidak sedikit pula yang menilai langkah PPATK terlalu terburu-buru dan menimbulkan kesan represif.

Dalam konteks kebijakan publik, pendekatan yang terbuka dan inklusif menjadi kunci penting. Tindakan pemblokiran yang menyentuh kepemilikan pribadi harus disertai dengan pemberitahuan yang jelas, mekanisme keberatan yang mudah diakses, serta jaminan bahwa dana nasabah tetap aman. Bank sebagai institusi pengelola keuangan juga memiliki peran penting dalam mengedukasi nasabah dan memberikan kepastian hukum.

Koordinasi antarlembaga perlu diperkuat. PPATK, bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan perbankan nasional, perlu menyusun strategi komunikasi yang terpadu. Penjelasan mengenai latar belakang kebijakan, prosedur aktivasi kembali rekening, serta jaminan perlindungan dana harus disampaikan secara masif kepada publik.

Upaya memperkuat sistem keuangan nasional merupakan tanggung jawab bersama. Kebijakan yang diambil tidak hanya diukur dari capaian administratif atau angka kerugian yang ditekan, tetapi juga dari kepercayaan masyarakat yang terus terjaga. Dalam era digital yang sarat tantangan, keamanan finansial dan hak nasabah harus berjalan beriringan. Pemblokiran rekening dormant oleh PPATK adalah bagian dari upaya besar itu, yang harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian, transparansi, dan kesadaran publik sebagai mitra strategis negara.

Fakta bahwa tak sedikit nasabah terkejut saat mendapati rekeningnya tidak dapat diakses menunjukkan adanya kekosongan komunikasi antara pembuat kebijakan dan publik. Tidak semua rekening dormant terlibat dalam kejahatan keuangan. Sebagian besar mungkin sekadar rekening pasif yang disimpan untuk kebutuhan darurat, warisan, atau sekadar lupa. Ketika kebijakan diterapkan secara seragam tanpa pembeda yang akurat dan tanpa pemberitahuan yang layak, di situlah kepercayaan publik mulai tergerus.

Prinsip dasar negara hukum adalah perlindungan terhadap hak individu. Maka, pendekatan keamanan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan prinsip transparansi dan keadilan prosedural. Pemerintah, melalui PPATK, OJK, BI, serta industri perbankan, semestinya menjadikan edukasi publik sebagai bagian integral dari kebijakan. Publik harus tahu: apa itu rekening dormant, bagaimana mekanisme pemblokiran dilakukan, apa saja indikator kecurigaan, dan bagaimana proses aktivasi ulang dilakukan.

Kebijakan yang menyentuh ranah privat harus mampu menjawab pertanyaan publik bukan hanya dengan dalil hukum, tetapi juga dengan logika keterbukaan dan partisipasi. Dalam situasi ini, pemilik rekening semestinya diberi ruang untuk mengajukan keberatan, mengklarifikasi, atau setidaknya mendapat penjelasan secara layak dari institusi keuangan terkait.

Kita tidak boleh melupakan bahwa kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional dibangun di atas keyakinan bahwa uang masyarakat aman dan dilindungi. Bila negara gagal menjamin rasa aman itu, bahkan untuk rekening yang tidak aktif sekalipun, maka celah krisis kepercayaan akan terbuka lebar.

Oleh karena itu, langkah PPATK sebaiknya dilanjutkan dengan kebijakan turunan yang lebih sensitif terhadap hak warga. Sosialisasi masif perlu dilakukan. Kolaborasi lintas lembaga harus diperkuat. Dan yang terpenting, publik harus diajak sebagai mitra strategis dalam membangun sistem keuangan yang bersih, aman, dan berkeadilan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak