Cahaya Dewantara di Tengah Kabut Politik Bangsa

Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
Cahaya Dewantara di Tengah Kabut Politik Bangsa
Ki Hajar Dewantara (X/FilmIndoSource)

Ki Hadjar Dewantara, seorang pelopor pendidikan dan pejuang kemerdekaan, telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi perjuangan politik bangsa melalui pendidikan. Dalam konteks Indonesia saat ini, di mana polarisasi politik dan pragmatisme sering kali mengaburkan visi kebangsaan, gagasan Ki Hadjar tentang pendidikan sebagai sarana emansipasi dan pembentukan karakter bangsa menjadi semakin relevan. Perjuangan politiknya, yang tidak hanya berfokus pada kemerdekaan fisik tetapi juga pembebasan intelektual, menawarkan cermin bagi kita untuk merefleksikan tantangan politik kontemporer. Esai ini akan menggali bagaimana warisan politik Ki Hadjar dapat menjadi lentera dalam menghadapi krisis identitas dan integritas bangsa saat ini.

Latar belakang perjuangan Ki Hadjar tidak dapat dipisahkan dari semangat anti-kolonialisme yang membara pada awal abad ke-20. Melalui organisasi seperti Indische Partij dan Taman Siswa, beliau memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial dengan pendidikan sebagai senjata utama. Pendidikan, menurut Ki Hadjar, bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi proses pembentukan manusia merdeka yang memiliki kesadaran politik dan moral. Namun, di Indonesia kini, pendidikan sering kali terjebak dalam birokrasi dan komersialisasi, kehilangan esensi sebagai alat pencerahan. Sistem politik yang cenderung elitis dan korup telah memperlebar jurang antara rakyat dan cita-cita kemerdekaan sejati. Akar masalah ini terletak pada pudarnya nilai-nilai luhur yang pernah diperjuangkan Ki Hadjar, di mana pendidikan dan politik seharusnya saling menguatkan demi keadilan sosial.

Refleksi terhadap perjuangan politik Ki Hadjar mengungkapkan betapa visionernya pendekatan beliau dalam mengintegrasikan pendidikan dengan politik. Dalam Taman Siswa, pendidikan tidak hanya untuk kaum terpelajar, tetapi juga untuk rakyat kecil yang termarginalkan. Prinsip “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” mencerminkan kepemimpinan yang memberdayakan, bukan mendominasi. Namun, kini politik Indonesia sering kali diwarnai oleh kepentingan pribadi dan kelompok, mengabaikan kebutuhan rakyat. Polarisasi yang diperparah oleh media sosial dan narasi populis telah menciptakan masyarakat yang terpecah, jauh dari semangat persatuan yang dulu digaungkan. Warisan Ki Hadjar mengingatkan kita bahwa politik sejati adalah tentang mendidik dan menyatukan, bukan memecah belah.

Urgensi untuk menghidupkan kembali semangat Dewantara dalam politik saat ini tidak dapat ditawar. Ketimpangan sosial, rendahnya literasi politik, dan krisis kepercayaan terhadap institusi negara menunjukkan bahwa pendidikan politik rakyat telah terabaikan. Ki Hadjar memandang pendidikan sebagai jalan untuk membangun kesadaran kritis, yang memungkinkan rakyat memahami hak dan tanggung jawab mereka dalam berdemokrasi. Tanpa kesadaran ini, demokrasi hanya menjadi alat bagi elit untuk mempertahankan kekuasaan. Pendidikan yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan, seperti yang diajarkan Ki Hadjar, harus menjadi fondasi untuk melawan apatisme politik dan manipulasi informasi yang merajalela.

Dalam konteks kekinian, tantangan untuk menerapkan gagasan Ki Hadjar tidaklah mudah. Sistem pendidikan yang terpusat dan seragam sering kali menghambat kreativitas dan kepekaan sosial siswa. Di sisi lain, politik yang didominasi oleh kepentingan jangka pendek membuat pendidikan kebangsaan dianggap kurang prioritas. Namun, justru di sinilah letak pentingnya refleksi terhadap perjuangan Ki Hadjar. Pendidikan politik yang inklusif, yang menjangkau semua lapisan masyarakat, dapat menjadi jembatan untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Media dan teknologi, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai-nilai luhur Ki Hadjar, seperti keadilan, persatuan, dan kemandirian.

Untuk mewujudkan visi Ki Hadjar di era modern, diperlukan langkah konkret yang inovatif. Pertama, pendidikan kebangsaan harus diintegrasikan ke dalam kurikulum dengan pendekatan yang kontekstual dan dialogis, bukan dogmatis. Kedua, komunitas lokal, seperti sanggar belajar atau kelompok masyarakat, dapat menjadi wadah untuk mendidik rakyat tentang hak politik mereka, sebagaimana Taman Siswa dulu menjadi ruang emansipasi. Ketiga, para pemimpin politik harus meneladani semangat “tut wuri handayani,” mendampingi rakyat tanpa mengesampingkan otonomi mereka. Dengan langkah-langkah ini, politik tidak lagi sekadar perebutan kekuasaan, tetapi menjadi sarana untuk membangun bangsa yang beradab dan bermartabat.

Sebagai penutup, warisan politik Ki Hadjar Dewantara adalah cahaya yang tetap menyala di tengah kabut tebal pragmatisme dan polarisasi saat ini. Perjuangannya mengajarkan bahwa pendidikan dan politik adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan demi terciptanya bangsa yang merdeka secara lahir dan batin. Di tengah tantangan zaman, semangat Dewantara menyeru kita untuk kembali pada akar kemanusiaan dan kebangsaan. Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai luhurnya, kita dapat merajut harapan untuk Indonesia yang lebih adil, bersatu, dan bermartabat. Semoga refleksi ini menjadi pijar kecil yang menginspirasi langkah nyata menuju perubahan yang bermakna.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak