Di tengah gelombang sejarah Indonesia, Ki Hadjar Dewantara bertahta sebagai lentera pendidikan dan politik bangsa. Pendiri Taman Siswa ini tidak hanya mendidik, tetapi juga memperjuangkan kemerdekaan jiwa melalui pendidikan yang berpijar pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Perjuangan politiknya, yang berakar pada pendidikan, menjadi cermin bagi Indonesia masa kini, di mana tantangan global seperti isu perdagangan internasional mengguncang tatanan dunia.
Refleksi atas perjuangan Ki Hadjar Dewantara mengajak kita menyelami akar masalah: politik tanpa pendidikan yang kokoh ibarat kapal tanpa nahkoda, mudah terombang-ambing gelombang zaman. Tulisan ini akan mencoba menelusuri relevansi perjuangan politik Ki Hadjar dalam konteks Indonesia modern, menegaskan bahwa pendidikan adalah fondasi politik yang mampu menjawab permasalahan global.
Perjuangan politik Ki Hadjar Dewantara tidak dapat dipisahkan dari visinya tentang pendidikan. Pada masa kolonial, ia diasingkan karena keberaniannya mengkritik ketidakadilan melalui tulisan dan organisasi. Namun, pengasingan tidak memadamkan apinya, justru di sana Taman Siswa lahir, menjadi simbol perlawanan melalui pendidikan.
Pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembentukan karakter yang merdeka, kritis, dan berbudaya. Dalam kacamata Indonesia saat ini, di mana polarisasi politik dan populisme sering mengaburkan visi kebangsaan, pendekatan Ki Hadjar Dewantara menawarkan pelajaran berharga. Politik yang tidak berpijar pada pendidikan cenderung rapuh, mudah terseret arus pragmatisme. Pendidikan yang kuat, sebagaimana dicontohkan oleh Ki Hadjar Dewantara, menjadi suluh yang merajut asa bangsa di tengah tantangan global.
Indonesia modern dihadapkan pada dinamika politik yang kompleks, baik di ranah domestik maupun internasional. Isu perdagangan global, yang kini memanas akibat kebijakan proteksionisme seperti tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, menjadi salah satu sorotan. Kebijakan ini tidak hanya mengguncang ekonomi, tetapi juga menguji ketahanan politik bangsa-bangsa, termasuk Indonesia.
Dalam refleksi politik Ki Hadjar Dewantara, pendidikan menjadi kunci untuk merajut solusi. Pendidikan yang menanamkan pemahaman tentang dinamika global, keterampilan analisis, dan nilai keadilan dapat melahirkan generasi yang mampu merumuskan kebijakan perdagangan yang berpihak pada kepentingan nasional tanpa mengorbankan kerja sama internasional. Tanpa pendidikan yang kokoh, politik cenderung reaktif, bukan proaktif, dalam menghadapi badai global.
Pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara menekankan “merdeka belajar,” sebuah konsep yang relevan untuk menjawab tantangan zaman. Dalam konteks perdagangan global, merdeka belajar berarti membekali masyarakat dengan kemampuan untuk memahami kompleksitas ekonomi dunia, seperti rantai pasok, tarif, dan dampak sosialnya.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan potensi besar, memerlukan sumber daya manusia yang tidak hanya terampil, tetapi juga mampu berpikir strategis. Pendidikan yang kuat, sebagaimana diimpikan oleh Ki Hadjar Dewantara, menjadi suluh yang menerangi jalan menuju solusi, seperti diversifikasi pasar ekspor atau penguatan industri lokal. Dengan demikian, politik yang berpijar pada pendidikan tidak hanya merajut asa bangsa, tetapi juga berkontribusi pada tatanan dunia yang lebih adil.
Namun, tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini tidaklah ringan. Sistem pendidikan yang belum merata, ditambah dengan rendahnya literasi politik di kalangan masyarakat, menjadi hambatan dalam mewujudkan visi Ki Hadjar Dewantara. Banyak masyarakat yang masih mudah terpengaruh oleh narasi politik yang dangkal, sementara pendidikan sering kali terjebak dalam formalitas tanpa jiwa.
Dalam konteks global, ketidaksiapan ini membuat Indonesia rentan terhadap tekanan ekonomi dan politik dari kekuatan asing. Refleksi atas perjuangan Ki Hadjar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan harus kembali ke akarnya: membentuk manusia yang tidak hanya pandai, tetapi juga bijak. Hanya dengan pendidikan yang bermakna, politik Indonesia dapat berdiri tegak, merajut asa bangsa di tengah pusaran global.
Untuk mewujudkan politik yang berpijar pada pendidikan, langkah konkret diperlukan. Pertama, pendidikan harus diarahkan untuk membangun kesadaran kritis terhadap isu global, termasuk perdagangan internasional. Kurikulum yang mengintegrasikan pemahaman tentang ekonomi dunia, sejarah perdagangan, dan etika global perlu diperkuat.
Kedua, pendidikan politik harus diperluas, tidak hanya untuk elit, tetapi juga untuk masyarakat luas, sehingga mereka mampu memahami hak dan tanggung jawab sebagai warga negara. Ketiga, semangat Taman Siswa harus dihidupkan kembali melalui pendidikan yang berbasis budaya dan kearifan lokal, namun tetap berwawasan global. Langkah-langkah ini akan memungkinkan Indonesia melahirkan generasi yang siap menghadapi badai global tanpa kehilangan jati dirinya.
Suluh perjuangan Ki Hadjar Dewantara tetap menyala, mengajak kita untuk merenungi dan bertindak. Politik yang kuat tidak lahir dari kekuasaan semata, tetapi dari pendidikan yang mencerahkan. Di tengah badai global, seperti isu perdagangan yang mengguncang dunia, Indonesia memiliki peluang untuk bangkit sebagai bangsa yang bijaksana dan tangguh.
Dengan menjadikan pendidikan sebagai fondasi politik, sebagaimana diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara, asa bangsa dapat dirajut menuju masa depan yang adil dan sejahtera. Semoga semangat suluh Nusantara terus membimbing, mengantarkan Indonesia menuju panggung dunia dengan kepala tegak dan hati yang merdeka.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS