Jika politik merupakan jalan menuju kekuasaan, maka pendidikan adalah jalan menuju peradaban. Melalui pendidikan, suatu negara dapat membentuk karakter bangsanya, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, dan juga membangun fondasi moral yang kokoh bagi generasi penerusnya.
Djamaluddin dalam Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam tahun 2014 menggarisbawahi bahwa dalam artian sederhana, pendidikan merupakan sebuah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai- nilai yang ada di dalam masyarakat dan kebudayaannya.
Pendidikan tak hanya didefinisikan sebagai sebuah alat untuk penyampaian sebuah informasi dan juga keterampilan teknis, tetapi juga sebagai tempat bagi murid untuk bebas dalam mengekspresikan diri mereka sendiri dengan terus tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi mereka masing- masing.
Gagasan ini juga sejalan dengan falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara di mana anak ditempatkan sebagai subjek utama dalam proses belajar, dengan pendekatan yang menghormati kodrat alam dan kodrat zaman masing-masing individu yang tentu berbeda satu sama lain.
Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang Bapak Pendidikan Indonesia senantiasa menjunjung tinggi nilai- nilai dalam pendidikan seperti misal kebebasan dalam belajar, pendidikan yang berakar pada kebudayaan serta pendidikan yang holistik dimana hal tersebut menyentuh aspek cipta, rasa dan juga karsa dari manusia.
Falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara ini tampaknya juga selaras dengan konsep pendidikan berbasis alam, seperti yang diterapkan pada Sekolah Alam. Sekolah ini dapat menjadi salah satu alternatif yang bisa dipertimbangkan oleh orang tua dalam memilih jalur pendidikan bagi anak-anak mereka.
Sekolah Alam merupakan salah satu alternatif model pendidikan formal yang cukup diminati walau keberadaannya juga dapat dibilang cukup baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam buku Sekolah Alam, Dr. Ifa Khoiria Ningrum dan Yuniarta Ita Purnama menjelaskan bahwa di Indonesia sendiri sekolah alam dipelopori oleh seorang tokoh pemuda Indonesia bernama Lendo Novo dengan lokasi pertama berada di Ciganjur, Jakarta Selatan pada tahun 1998.
Sekolah alam didirikan dengan tujuan untuk menyediakanlembaga pendidikan yang menghadirkan proses belajar menyenangkan bagi peserta didik dalam menemukan bakat dan minat yang mereka miliki.
Keselarasan akan nilai dan makna penting dari pendidikan menurut falsafah pendidikan milik Ki Hadjar Dewantara dengan sekolah alam ini menjadi poin penting yang menegaskan bahwa pendidikan sejatinya adalah proses pembebasan dan pemanusiaan yang harus kontekstual dengan kehidupan peserta didik.
Sejak masa awal pemikirannya, Ki Hadjar Dewantara telah menekankan bahwa pendidikan memang sudah seharusnya untuk berpijak pada budaya, kebutuhan, dan potensi setiap anak. Pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, melainkan proses yang membangun kesadaran, karakter, serta kemandirian.
Dalam konteks sekolah alam, falsafah ini menemukan bentuk nyata: lingkungan dijadikan ruang belajar yang hidup, guru berperan sebagai pamong yang menuntun, dan anak-anak diberi ruang untuk tumbuh sesuai kodrat alam dan zaman mereka. Nilai-nilai seperti gotong royong, keberlanjutan, dan kearifan lokal diintegrasikan secara organik dalam proses pembelajaran sehari-hari.
Sekolah alam bukan hanya alternatif metode pendidikan, melainkan representasi konkret dari cita-cita pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Proses pembelajaran yang menyatu dengan alam tidak hanya mengasah kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk kepekaan sosial dan spiritual anak. Mereka tidak hanya diajarkan untuk menjadi “pintar” dalam arti akademis, tetapi juga untuk menjadi manusia seutuhnya yang menghargai hidup, menghormati sesama, dan peduli pada lingkungan. Pendidikan seperti inilah yang sejatinya memerdekakan, menjadikan anak-anak bukan hanya sebagai objek pendidikan, tetapi sebagai subjek yang aktif, kritis, dan berdaya.
Dalam kerangka inilah, pendidikan menjadi sebuah perjalanan yang holistik dan menyeluruh, selaras dengan prinsip Ki Hadjar Dewantara tentang "tiga pusat pendidikan" yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sekolah alam merangkul ketiganya dengan menciptakan ruang belajar yang terbuka dan partisipatif, di mana orang tua, pendidik, dan lingkungan sekitar turut berperan aktif dalam tumbuh kembang anak.
Pendidikan tidak lagi terkotak dalam ruang kelas yang kaku, melainkan mengalir dinamis dalam kehidupan sehari-hari, memberi anak kesempatan untuk mengalami, bereksperimen, dan merefleksikan secara langsung makna dari apa yang mereka pelajari. Inilah pendidikan yang membumi, membebaskan, dan memanusiakan sebagaimana yang diimpikan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Dengan demikian, pendidikan yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan, kearifan lokal, dan kebebasan berpikir sebagaimana dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara dapat terwujud melalui pendekatan kontekstual seperti sekolah alam, yang menjadikan setiap anak tumbuh menjadi pribadi merdeka, berkarakter, dan siap menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.