Demokrasi dapat dipahami sebagai sistem politik yang menjamin kebebasan memilih dan kebebasan berpendapat. Namun, esensi demokrasi jauh lebih daripada itu, karena demokrasi membentuk manusia yang merdeka dengan cara mampu berpikir kritis, bertanggung jawab, dan hidup dalam harmoni sosial.
Sosok Ki Hadjar Dewantara mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak akan berjalan dengan baik tanpa guru yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai kemerdekaan berpikir, etika kepemimpinan dan tanggung jawab sosial.
Hal ini terlihat secara jelas bagaimana beliau dengan gagasannya yang menempatkan pendidikan sebagai alat utama pembebasan bangsa dari penjajahan kolonial. Tanpa nilai-nilai dan perjuangan Ki Hadjar, politik Indonesia berisiko kehilangan arah dan demokrasi menjadi sekadar formalitas tanpa makna.
Ki Hadjar Dewantara lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta dalam keluarga ningrat Jawa. Meskipun berasal dari kalangan bangsawan, ia memiliki empati terhadap rakyat kecil.
Pada awalnya, ia aktif dalam dunia politik sebagai bagian dari gerakan nasionalisme yang menentang penjajahan Belanda bersama dengan Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker, ia mendirikan Indische Partij pada 1912, partai politik pertama yang berlandaskan nasionalisme Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda), Ki Hadjar mengkritik keras diskriminasi dan ketidakadilan kolonial yang menindas rakyat pribumi.
Namun, karena aktivitas politiknya dianggap membahayakan, ia diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda pada 1913-1919. Saat masa pengasingan Ki Hadjar menyadari bahwa perjuangan politik saja tidak cukup untuk membebaskan bangsa. Ia kemudian beralih ke bidang pendidikan sebagai medan perjuangan utama. Pada 3 Juli 1922, ia mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, agar masyarakat dapat mengenyam pendidikan yang memiliki kecintaan terhadap tanah air dan berjuang untuk kemerdekaan.
Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan sebagai sarana pembebasan manusia dari penjajahan. Pendidikan kolonial yang diskriminatif dan berorientasi pada kepentingan penguasa harus digantikan dengan pendidikan yang humanis, kerakyatan, dan kebangsaan. Ia mengadopsi dan mengembangkan konsep pendidikan yang mengintegrasikan pengalaman Maria Montessori dari Italia dan Rabindranath Tagore dari India, menyesuaikannya dengan kondisi dan budaya bangsa Indonesia.
Kemudian. ia mengadopsi dua sistem itu dan menemukan istilah yang harus dipatuhi dan menjadi karakter, yaitu Patrap Guru, atau tingkah laku guru yang menjadi panutan murid-murid dan masyarakat (Ki Hadjar Dewantara, 1952: 107-115).
Prinsip utama yang diperkenalkan Ki Hadjar adalah “Ing ngarso sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani” yang berarti guru harus memberi teladan di depan, membangun semangat di tengah, dan memberi dorongan dari belakang. Guru bukan hanya pengajar, tetapi pemimpin yang membimbing peserta didik menjadi manusia merdeka dan bertanggung jawab. Sehingga, pendidikan menjadi fondasi utama bagi demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.
Taman Siswa bukan hanya sekolah biasa, melainkan gerakan pendidikan nasional yang menentang sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif dan eksklusif. Pada masa penjajahan, pendidikan formal yang disediakan pemerintah Belanda sangat terbatas dan hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu.
Taman Siswa hadir untuk membuka akses pendidikan bagi rakyat banyak, khususnya anak-anak pribumi, dengan tujuan membentuk kader bangsa yang berjiwa nasionalis dan merdeka. Namun, perjuangan Taman Siswa tidak mudah. Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan yang dikenal sebagai Undang-undang Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie,1932) yang membatasi ruang gerak lembaga pendidikan seperti Taman Siswa.
Ki Hadjar Dewantara dan para pendukungnya harus berjuang keras melawan regulasi ini, yang dianggap sebagai ancaman terhadap kemerdekaan pendidikan dan kebebasan berpendapat. Perjuangan ini mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan, mulai dari partai politik dan pergerakan sosial. Taman Siswa juga mengedepankan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai kerakyatan dan kekeluargaan, serta pendidikan yang berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik agar dapat mandiri dan berkarya nyata dalam masyarakat.
Setelah perjuangan Ki Hadjar Dewantara, saat ini Indonesia menghadapi tantangan demokrasi yang kompleks dan beragam. Politik kerap kali didominasi oleh pragmatisme, kepentingan kelompok, dan polarisasi yang menggerus nilai-nilai persatuan dan keadilan sosial.
Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwasannya tingkat kepercayaan publik terhadap kejujuran dan keadilan Pemilu 2024 anjlok sepekan pasca-pemungutan suara pada 14 Februari, yang merupakan salah satu temuan survei pasca pemilu yang dilakukan oleh LSI pada tanggal 19-21 Februari. Sehingga kondisi ini menegaskan perlunya pendidikan politik yang berbasis nilai-nilai Ki Hadjar, yakni demokrasi yang berakar pada kemerdekaan berpikir dan tanggung jawab sosial.
Sosok Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan kepemimpinan yang beretika. Peranan seorang guru sangatlah besar selain menjadi agent of change, tetapi harus mampu membimbing generasi muda untuk kritis dan mandiri.
Jika politik kehilangan arah tanpa guru seperti Ki Hadjar, demokrasi akan kehilangan pijakan yang kokoh dan mudah terombang-ambing oleh kepentingan sesaat. Demokrasi bukan hanya soal mekanisme pemilihan, tetapi juga soal kualitas warga negara yang mampu berpartisipasi secara sadar dan bertanggung jawab. Guru memiliki peran strategis dalam membentuk kualitas ini melalui pendidikan karakter dan mengembangkan kemerdekaan dalam berpikir.
Ki Hadjar Dewantara dengan tegas menolak sistem pendidikan kolonial yang bersifat perintah dan sanksi, menggantikannya dengan sistem “among” yang mengedepankan keteladanan. Dalam konteks politik modern Indonesia, di mana populisme dan pragmatisme sering mengaburkan nilai-nilai demokrasi, peran guru menjadi semakin penting.
Guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kebangsaan, etika, dan kemampuan kritis yang esensial untuk menjaga demokrasi agar tidak disalahgunakan oleh elit politik. Lebih jauh, guru sebagai teladan moral harus mampu menginspirasi dan membimbing generasi muda agar tidak mudah terpengaruh oleh hoaks, politik identitas, dan manipulasi massa.
Ki Hadjar Dewantara mengajarkan bahwa demokrasi membutuhkan sosok guru yang dapat menjadi pemimpin sekaligus fasilitator. Pendidikan dan politik bukan dua ranah yang terpisah, melainkan saling terkait dalam membentuk bangsa yang merdeka dan bermartabat.
Tanpa guru seperti Ki Hadjar, politik berpotensi kehilangan arah dan demokrasi menjadi sekadar formalitas tanpa makna. Guru dan pendidikan harus menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat yang kritis, mandiri, dan bertanggung jawab untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.