Kabar mengenai rencana pelaporan terhadap pembuat meme Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, memicu beragam reaksi di media sosial, terutama di TikTok. Alih-alih menanggapinya dengan kemarahan atau ketakutan, sebagian besar pengguna justru merespons dengan humor dan sindiran halus.
Dalam salah satu unggahan berita di TikTok, seorang pengguna menulis komentar yang kemudian mendapatkan banyak dukungan dari warganet: “Kalau semua pembuat meme ditangkap, sepertinya lebih dari setengah populasi Indonesia akan masuk penjara.”
Komentar tersebut menunjukkan pandangan kritis publik terhadap tindakan pelaporan yang dianggap berlebihan. Dengan gaya bercanda, warganet sebenarnya sedang menyampaikan pesan serius tentang batas kebebasan berekspresi di ruang digital.
Komentar serupa datang dari pengguna lain yang menulis, “Administrator media saja tidak mudah tersinggung.” Ungkapan ini menggambarkan kontras antara sikap santai para pengguna internet dan kepekaan berlebih yang dinilai muncul dari pihak yang merasa dirugikan oleh meme tersebut.
Dalam bahasa sederhana, komentar ini menyoroti bahwa tidak semua bentuk lelucon perlu dianggap sebagai serangan pribadi atau penghinaan.
Kolom komentar berbagai unggahan serupa dipenuhi oleh ekspresi senada. Banyak pengguna menulis kalimat bernada jenaka dan sarkastik, seperti ajakan “bersiap masuk penjara bersama-sama”, seolah seluruh pengguna TikTok berpotensi menjadi tersangka hanya karena membagikan konten lucu.
Namun, ekspresi warganet tidak berhenti pada komentar tertulis. Banyak pengguna TikTok juga membanjiri kolom komentar dengan berbagai gambar dan potongan meme Bahlil lainnya. Tindakan ini menjadi bentuk respons visual yang memperkuat pesan: alih-alih takut, mereka memilih untuk menertawakan situasi tersebut.
Setiap gambar, tangkapan layar, dan meme yang disisipkan di kolom komentar seolah menjadi pernyataan kolektif bahwa humor tak mudah dibungkam.
Gelombang humor ini menunjukkan bagaimana masyarakat menggunakan tawa sebagai bentuk perlawanan halus terhadap kekuasaan yang dianggap terlalu sensitif terhadap kritik.
Fenomena ini memperlihatkan dinamika menarik dalam budaya digital Indonesia. Humor menjadi medium aman bagi publik untuk menyampaikan kritik sosial tanpa harus berhadapan langsung dengan otoritas. Dengan menertawakan isu yang serius, warganet membalikkan posisi kuasa: pejabat yang biasanya menjadi sumber otoritas justru menjadi objek lelucon kolektif.
Kasus pelaporan meme Bahlil pada akhirnya bukan sekadar persoalan satu unggahan bergambar, melainkan cerminan ketegangan antara kebebasan berekspresi dan sensitivitas terhadap kritik.
Melalui komentar-komentar ringan di TikTok, masyarakat menunjukkan kesadarannya bahwa tawa bisa menjadi bentuk ekspresi politik dan solidaritas.
Jika membuat meme dianggap pelanggaran, maka seperti kata salah satu komentar yang viral, lebih dari setengah penduduk Indonesia tampaknya harus bersiap masuk penjara. Sebuah ironi yang dalam keseriusannya justru mengundang tawa.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS