Di era digital ini, cara orang berinteraksi dengan informasi telah berubah, termasuk cara pejabat publik menyampaikan pesan mereka, menampilkan kinerja, dan menjalin hubungan dengan masyarakat. Media sosial seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan Facebook telah menjadi platform baru bagi politisi untuk “berinteraksi” dengan orang banyak secara virtual. Diantara sekian banyak individu, Dedi Mulyadi dikenal sebagai sosok yang terus-menerus berbagi konten yang bersifat manusiawi, yang sering kali menjadi viral karena mengangkat sisi emosional publik.
Namun, fenomena viral ini menimbulkan pertanyaan yang lebih mendalam: apakah konten ini hanya sekadar sensasi sementara? Atau dapatkah ia menciptakan dampak serta kepercayaan publik dalam jangka waktu yang panjang? Artikel ini membahas fenomena ini dengan menggunakan kerangka teori “mudah viral, cepat hilang,” mengacu pada analisis dari para ahli di bidang media dan komunikasi.
1. Menganalisis Teori: Apa Itu “Mudah Viral, Cepat Hilang”?
Konsep “mudah viral, cepat hilang” merujuk pada fenomena di mana suatu konten dapat mencapai popularitas tinggi dalam waktu singkat, tetapi tidak mampu mempertahankan kekuatan dalam membangun kesadaran, pengaruh, atau perilaku dalam jangka panjang. Ini sering terjadi dalam ekosistem media sosial yang dirancang untuk menonjolkan konten yang singkat, cepat, dan penuh emosi.
Dalam bukunya, Contagious: Why Things Catch On (2013), Jonah Berger menjelaskan bahwa viralitas konten biasanya didorong oleh beberapa faktor: emosi yang kuat, keterhubungan sosial, kemudahan berbagi, dan elemen kejutan. Namun, ia juga menekankan:
“Konten yang hanya viral karena trik atau emosi sesaat akan sangat cepat kehilangan relevansi jika tidak disertai makna atau nilai yang kuat. ”
Fenomena ini dikenal sebagai “pengaruh konten sementara”, efek viral yang tidak bertahan lama karena kurangnya nilai yang mampu mengikat audiens.
2. Dedi Mulyadi dan Strategi Narasi Manusiawi
Dedi Mulyadi merupakan contoh pejabat publik yang cerdas dalam memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk komunikasi politik dan kemanusiaan. Dia tidak berperan sebagai pejabat resmi, tetapi lebih sebagai “teman rakyat” yang menyapa, mendengarkan keluhan, dan memberikan solusi nyata, terutama bagi masyarakat yang kecil dan marjinal.
Video-videonya sering menunjukkan pertemuan dengan: Orang tua yang hidup sendiri. Anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Pedagang kecil yang berjuang secara ekonomi. Masyarakat desa terpencil yang memerlukan bantuan segera.
Pendekatan ini tidak hanya menyentuh perasaan, tetapi juga menyajikan narasi keberpihakan. Dalam konteks komunikasi politik, hal ini dapat diartikan sebagai bentuk komunikasi transaksional, membangun hubungan emosional yang menghasilkan respon positif terhadap sosok tersebut. Namun, seperti yang diingatkan oleh Henry Jenkins dalam buku Spreadable Media (2013):
“Penyebaran luas tidak selalu berarti pengaruh yang mendalam. Tanpa makna yang berkelanjutan, konten akan segera ditelan oleh gelombang konten baru. ”
Pertanyaannya adalah: apakah narasi Dedi Mulyadi cukup kuat untuk bertahan di tengah berbagai konten viral lainnya?
3. Antara Citra dan Reputasi Nyata
Salah satu kritik terhadap fenomena konten pejabat yang viral adalah potensi hanya untuk pencitraan. Ketika aksi sosial direkam dan dipublikasikan secara luas, sebagian publik dapat meragukan: apakah ini benar-benar bentuk kepedulian atau hanya strategi pemilu yang tersembunyi? Cal Newport, seorang pakar teknologi dan penulis Digital Minimalism (2019), memberikan pandangan bahwa ketenaran yang instan bisa menciptakan ketergantungan pada perhatian:
“Ketika pencapaian diukur dari banyaknya like, view, atau share, maka motivasi untuk menciptakan dampak yang berkelanjutan dapat tergeser oleh kebutuhan untuk eksistensi sesaat. ”
Namun, dalam hal Dedi Mulyadi, terdapat elemen menarik: cerita yang dibentuk tidak terhenti pada ranah digital. Banyak tindakan nyata dilaporkan berlanjut ke intervensi langsung dan program yang konkret. Ini menunjukkan adanya perbedaan antara citra digital dan reputasi yang sebenarnya, yang tidak dapat dipertahankan oleh semua pejabat.
4. Dimensi Kritis: Risiko Konten "Cepat Hilang" dalam Politik
Dalam dunia politik digital, keberadaan sangat tergantung pada ingatan masyarakat. Konten yang cepat menjadi viral juga cepat menghilang karena algoritma dan siklus informasi yang terus berubah. Tanpa adanya inovasi atau narasi yang berkelanjutan, para figur publik dapat tenggelam oleh dinamika media sosial yang ada.
Fenomena ini dikenal sebagai “info fatigue” kelelahan masyarakat akibat ledakan informasi yang tidak mendalam. Akibatnya: Masyarakat dengan cepat lupa siapa yang sebelumnya viral. Viralitas tidak menjamin elektabilitas. Citra digital tidak selalu berbanding lurus dengan kepercayaan jangka panjang.
Oleh karena itu, penting untuk pejabat tidak hanya fokus pada eksposur, tetapi juga memperkuat kapasitas yang relevan: ide, program, dan catatan yang memberi dampak nyata pada masyarakat.
5. Strategi Menciptakan Dampak di Dalam Budaya Viral
Teori yang menyatakan "mudah viral, cepat pudar" menunjukkan bahwa seberapa cepat sesuatu menyebar bukanlah indikator utama keberhasilan konten. Untuk pejabat publik seperti Dedi Mulyadi, viralitas dapat menjadi cara pertama untuk mendekatkan diri, tetapi untuk menjaga keberlanjutan, hal ini hanya bisa dicapai dengan:
Cerita yang tetap konsisten. Tindakan yang autentik. Respon sosial yang jelas dan dapat diukur. Kemampuan beradaptasi dengan perubahan media.
Saya percaya Dedi Mulyadi merupakan contoh pejabat yang menjalankan perannya dengan penuh kesungguhan. Rasa pedulinya terhadap masyarakat kecil, kesederhanaan dalam bertindak, dan kehadirannya langsung di masyarakat membuktikan bahwa ia tidak hanya mengejar ketenaran. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa teori “mudah viral, cepat pudar” tidak begitu berpengaruh padanya. Ia membangun lebih dari sekadar konten; ia menciptakan kepercayaan sosial yang muncul dari tindakan nyata dan konsisten.
Konten yang hanya mencari perhatian publik tanpa memberikan solusi nyata akan cepat hilang dalam arus informasi. Tetapi jika dikombinasikan dengan integritas dan nilai-nilai yang dekat dengan masyarakat, seperti yang ditunjukkan oleh Dedi Mulyadi, konten tersebut bisa menjadi kekuatan untuk perubahan sosial yang bertahan di tengah pergantian zaman.