Saat ini, kemajuan teknologi berkembang dengan sangat cepat, dan keberadaan Artificial Intelligence (AI) telah menjadi bagian penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Kita, baik sebagai individu, institusi, maupun negara, tidak bisa mengabaikan realitas revolusi digital yang terjadi. Sebagaimana banyak orang yang awalnya menolak gadget pada masa awal kemunculannya, seiring berjalannya waktu, gadget tersebut malah menjadi kebutuhan dasar. Hal yang sama juga berlaku untuk AI, terutama saat mulai memasuki sekolah-sekolah, yang mengundang berbagai reaksi positif dan negatif.
Beberapa waktu lalu, pembicaraan mengenai AI tidak hanya berlangsung di forum akademik atau perusahaan teknologi, tetapi juga telah meresap ke dalam percakapan sehari-hari masyarakat. Diskusi ini muncul dalam berbagai konteks, mulai dari obrolan santai di kantor, perdebatan di meja makan, hingga canda di kedai kopi. Tak hanya itu, platform media sosial juga ramai membahas isu ini. Ada yang menyambut AI dengan antusias sebagai alat bantu yang hebat, sementara yang lain khawatir terkait dampaknya pada etika, karakter pendidikan, dan kemampuan berpikir manusia.
Untuk melihat lebih dalam, kita akan meninjau dari tiga perspektif: mendukung, menolak, dan netral.
1. Perspektif Mendukung: Tidak Mau Tertinggal oleh Waktu
Mereka yang setuju dengan penerapan AI dalam dunia pendidikan percaya bahwa teknologi adalah hal yang tidak bisa dihindari. Jika kita tidak mengikuti kemajuan teknologi, kita akan jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Sebagai contoh, negara-negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa sudah mengadopsi AI dalam sistem pendidikan mereka. Mereka tidak hanya menggunakan teknologi sebagai alat bantu mengajar, tetapi juga sebagai rekan dalam proses belajar.
Dalam hal ini, seperti dalam pertempuran, kita tidak bisa terus menerus menggunakan alat yang kuno. Kita perlu memanfaatkan alat yang paling canggih agar dapat bersaing. Pendidikan pun demikian. AI membantu mempermudah akses belajar, mempercepat pemahaman siswa, dan mendukung guru dalam menyajikan materi yang lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Tugas yang dulunya memakan waktu berhari-hari kini dapat diselesaikan hanya dalam beberapa menit dengan bantuan AI.
Menurut Prof. Andreas Schleicher, Direktur Pendidikan OECD, "AI berpotensi memberikan pengalaman belajar pribadi sesuai kebutuhan setiap siswa, yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan dalam sistem pendidikan yang masif. " (Sumber: OECD, 2023).
2. Perspektif Menolak: Ancaman Ketergantungan dan Kesenjangan
Namun, ada kelompok yang menentang masuknya AI secara luas dalam pendidikan. Mereka merasa khawatir bahwa siswa akan menjadi terlalu bergantung pada teknologi dan kehilangan kemampuan berpikir kritis. Jika semua pertanyaan dijawab oleh perangkat seperti ChatGPT, Google Bard, atau alat otomatis lainnya, kapan anak-anak akan belajar untuk menganalisis dan berpikir secara mandiri?
Aspek etika juga menjadi perhatian. Siapa yang harus bertanggung jawab kalau AI memberikan informasi yang salah? Apakah guru akan sepenuhnya digantikan? Dan bagaimana dengan siswa yang berasal dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) yang mungkin belum memiliki akses ke teknologi ini?
Prof. Howard Gardner, ahli pendidikan dari Harvard University, berpendapat bahwa terlalu cepat mengandalkan AI untuk pembelajaran bisa risikonya mengabaikan pengembangan kecerdasan majemuk anak, seperti kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, yang tidak bisa dihasilkan oleh mesin. (Sumber: Harvard Education Review, 2022).
3. Perspektif Netral: Memanfaatkan dengan Bijaksana
Bagi mereka yang melihat dari sudut pandang netral, kecerdasan buatan merupakan sebuah alat yang perlu digunakan dengan bijak. Teknologi ini dapat memberikan banyak bantuan, tetapi juga berpotensi menjadi masalah jika tidak dilengkapi dengan pemahaman digital yang baik. Ketika pendidik dan siswa berperan sebagai pengguna yang pasif, kecerdasan buatan dapat mengurangi kreativitas dan membuat orang jadi malas dalam berpikir.
Pendekatan yang seimbang ini, kini sedang didukung oleh banyak lembaga pendidikan yang progresif. Mereka merekomendasikan agar kecerdasan buatan digunakan sebagai bantuan cerdas, bukan sebagai pengganti sepenuhnya. Pendidik harus tetap menjadi panduan utama dalam proses belajar, sementara kecerdasan buatan berfungsi untuk mempersonalisasi materi, menganalisis kemajuan belajar peserta didik, dan memberikan umpan balik secara langsung.
Dalam laporan 2024, UNESCO menekankan bahwa penerapan AI di lingkungan sekolah harus disertai dengan peraturan, pelatihan untuk pendidik, dan sistem evaluasi agar tidak terjadi ketidakadilan dalam pendidikan. "Kecerdasan buatan bukanlah pengganti pendidik, tetapi untuk memperkuat peran mereka," demikian kutipan dalam laporan tersebut (UNESCO, 2024).
Kesimpulan: Harus Dikelola, Tidak Dapat Dihindari
Pada akhirnya, penggunaan AI dalam dunia pendidikan bukan sekadar tentang menerima atau menolak, melainkan tentang bagaimana kita mengelolanya dan mengarahkan pemakaiannya. Ketika digunakan dengan bijak, kecerdasan buatan berpotensi menjadi peluang luar biasa untuk mempercepat pemerataan pendidikan dan meningkatkan mutu pembelajaran. Namun, jika tidak digunakan dengan hati-hati, hal itu dapat menjadi tantangan besar yang memperburuk kesenjangan sosial dan mengurangi daya pikir manusia.
Sangat penting bagi pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat untuk membangun kesadaran bersama bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Keseimbangan dalam menggunakan teknologi dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan harus tetap diperhatikan. Karena pada dasarnya, pendidikan bukan sekadar pemindahan pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter.