Wajah Baru Gaming dan Gambling di Era Digital: Antara Hiburan dan Kecanduan

Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Wajah Baru Gaming dan Gambling di Era Digital: Antara Hiburan dan Kecanduan
Ilustrasi pria bermain game (Pexels/Dean Drobot)

Di tengah lanskap digital yang terus berkembang, video game dan aktivitas perjudian online telah menjelma menjadi dua bentuk hiburan paling dominan. Aksesibilitas yang tinggi, narasi interaktif, dan sistem penghargaan yang memikat membuat jutaan orang, khususnya generasi muda, menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar.

Namun, di balik gemerlap hiburan itu, muncul bayang-bayang kecanduan yang tak kalah serius dibanding ketergantungan pada zat adiktif. Perbedaan tipis antara kesenangan dan ketergantungan inilah yang hari ini menjadi perhatian para pakar kesehatan mental, neurolog, dan pembuat kebijakan.

Artikel ini mengupas kompleksitas fenomena ini, antara kesenangan bermain dan bahaya tersembunyi yang mengintai.

Gaming dan Perjudian: Aktivasi Sistem Penghargaan Otak

Tak sekadar membunuh waktu, permainan video dan perjudian ternyata mampu mengaktifkan sistem penghargaan otak dengan cara yang sangat mirip dengan zat adiktif.

Dalam studi neuropsikologis mutakhir, Clark dan Zack (2023) menunjukkan bahwa variabilitas penghargaan dalam permainan dan perjudian merangsang sistem dopaminergik otak, menciptakan sinyal yang memperkuat kebiasaan dan perilaku adiktif.

Ini menjelaskan mengapa seseorang bisa merasa terus-menerus terdorong untuk bermain, mengejar kemenangan, atau mendapatkan "loot" yang langka meskipun secara rasional mengetahui bahwa peluangnya kecil.

Salah satu bentuk konkret dari sistem penghargaan ini tampak dalam mekanisme loot box dalam game daring, yang menyerupai lotre atau permainan peluang.

Penelitian oleh Huul et al. (2025) mengungkapkan bahwa keterlibatan berlebihan dalam permainan daring sangat berkorelasi dengan penggunaan loot box yang bermasalah, dan hal ini berpotensi menjadi gerbang menuju perjudian online.

Ini bukan sekadar spekulasi. Pemain yang terbiasa dengan sistem loot box bisa mengalami transisi perilaku ke perjudian yang lebih serius karena otaknya telah terbiasa menerima sensasi "menang" secara acak dan berulang.

Remaja dan Sensitivitas Neurologis: Siapa yang Paling Rentan?

Salah satu kelompok yang paling terdampak oleh gejala kecanduan ini adalah remaja. Di usia ini, perkembangan neurologis belum sepenuhnya matang, dan sistem penghargaan dalam otak cenderung lebih aktif dibanding sistem pengendalian diri.

Dalam sebuah studi terbaru, He et al. (2025) menemukan bahwa kecanduan video game pada remaja berkaitan erat dengan meningkatnya sensitivitas terhadap kehilangan secara neurologis.

Artinya, rasa frustrasi akibat kekalahan dalam game bisa memicu respons emosional yang lebih besar dan mendorong individu untuk terus bermain guna "membayar" kekalahan sebelumnya.

Yang menarik, penelitian yang sama menunjukkan bahwa kecanduan media sosial tidak menunjukkan hubungan neurologis serupa. Ini menandakan bahwa meskipun keduanya berada di ranah digital, video game memiliki karakteristik yang lebih kuat dalam membentuk pola perilaku adiktif berbasis sistem penghargaan otak.

Dalam konteks ini, Brand et al. (2025) menegaskan bahwa gangguan perjudian dan permainan telah diakui secara global sebagai gangguan akibat perilaku adiktif, sejajar dengan ketergantungan terhadap alkohol atau narkotika. Ini bukan hanya soal pilihan individu, tapi tentang struktur neurobiologis dan psikososial yang membentuk pola kecanduan.

Kesepian, Stres, dan Lingkaran Setan Digital

Tak dapat dipungkiri, aspek sosial juga memainkan peran besar dalam memperparah kecanduan digital. Dalam studi yang dilakukan oleh Vuorinen et al. (2024), ditemukan bahwa kesepian dan stres merupakan dua faktor utama yang memperburuk masalah permainan dan perjudian daring.

Kesepian, yang sering dialami oleh remaja dan dewasa muda akibat isolasi sosial atau tekanan akademik, dapat mendorong seseorang mencari pelarian dalam dunia virtual yang tampak lebih ramah dan memberi penghargaan instan.

Stres, di sisi lain, berinteraksi secara negatif dengan kecanduan game: saat stres meningkat, dorongan untuk bermain juga meningkat, yang pada akhirnya memperburuk stres itu sendiri ketika realitas kehidupan tak kunjung teratasi. Ini menciptakan lingkaran setan psikologis yang sulit diputus.

Tak jarang pula, permainan daring dan perjudian menjadi satu-satunya ruang individu merasa memiliki kontrol atau keberhasilan—sesuatu yang mungkin tak mereka dapatkan dalam dunia nyata. Namun, ilusi kendali ini justru menjebak mereka dalam realitas semu yang semakin menjauhkan dari solusi nyata atas masalah mereka.

Menyikapi Era Digital dengan Bijak

Era digital memberi kita hiburan tanpa batas, tetapi juga memunculkan tantangan kesehatan mental yang kompleks. Ketika permainan dan perjudian tak lagi sekadar hiburan, namun menjadi mekanisme pelarian dan pembentuk pola adiktif, maka intervensi menjadi suatu keharusan.

Diperlukan sinergi antara pemerintah, industri game, sekolah, dan keluarga untuk menyusun regulasi dan edukasi yang tepat. Sistem peringatan dini, pembatasan usia dan waktu bermain, serta penyuluhan tentang bahaya loot box dan mekanisme penghargaan dalam game adalah langkah awal yang penting.

Namun yang lebih mendasar adalah membangun budaya digital yang sehat—hiburan digital tetap berada dalam kendali pengguna, bukan sebaliknya. Kita harus mampu mendidik generasi muda bahwa kendali atas kesenangan adalah bentuk tertinggi dari kebebasan.

Di antara hiburan dan kecanduan, terdapat garis halus yang hanya bisa dijaga dengan kesadaran, pengetahuan, dan kebijakan yang berpihak pada kesehatan jiwa. Dunia digital bukan musuh, tapi ia bisa menjadi jebakan jika kita tak memahami wajah barunya dengan bijak.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak