Di antara tumpukan buku pelajaran dan mimpi masa depan, Generasi Z menapaki jalan menuju kemandirian finansial, dari sekadar menerima uang saku di masa SMA hingga merangkai anggaran sebagai mahasiswa. Uang saku yang dulu cukup untuk jajan di kantin kini harus dipecah-pecah untuk membayar kos, kuliah, dan kebutuhan sehari-hari.
Ini adalah tarian baru, di mana setiap rupiah harus dihitung dengan cermat, namun sering kali tersandung oleh ketidakpastian. Apa yang membuat perjalanan ini begitu menantang?
Bagaimana literasi finansial menjadi kunci untuk membuka pintu kemandirian? Dan, bagaimana Gen Z belajar menari dengan angka di tengah tekanan hidup? Seperti benih yang mulai bertunas, kemandirian finansial adalah kisah tentang tumbuh dalam keterbatasan.
Pergeseran dari ketergantungan ke kemandirian finansial membutuhkan literasi yang kokoh, namun sering kali terhambat oleh kurangnya pendidikan keuangan dini.
Dalam studi berjudul Financial Socialization of First-Year College Students: The Roles of Parents, Work, and Education, Shim et al. (2010) menemukan bahwa mahasiswa baru sering kali menghadapi kesulitan dalam pengelolaan keuangan karena minimnya sosialisasi finansial dari orang tua atau sekolah.
Penelitian ini menegaskan bahwa literasi finansial, seperti kemampuan membuat anggaran atau memahami utang, sangat menentukan keberhasilan transisi ke kemandirian. Bagi Gen Z, yang kini menghadapi biaya hidup yang melonjak—terutama di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta—pengetahuan ini adalah kompas yang tak ternilai.
Di masa SMA, hidup finansial Gen Z ibarat perahu yang berlayar di perairan tenang, ditopang oleh uang saku dari orang tua. Uang Rp50.000 sehari cukup untuk membeli gorengan, pulsa, atau tiket bioskop akhir pekan. Keputusan finansial mereka sederhana: beli atau simpan untuk esok.
Di Indonesia, di mana budaya memberikan uang saku masih kental, anak SMA jarang diajarkan untuk mengelola keuangan jangka panjang. Mereka hidup dalam gelembung nyaman, tagihan listrik atau biaya darurat adalah urusan orang tua.
Namun, gelembung ini pecah begitu mereka melangkah ke dunia kuliah, realitas finansial menampar seperti angin kencang.
Sebagai mahasiswa, Gen Z dipaksa belajar seni budgeting, seperti seorang pelukis yang harus mencampur warna dengan hati-hati di palet terbatas. Biaya kuliah, sewa kos, makan sehari-hari, hingga ongkos transportasi harus diatur dalam anggaran yang sering kali minim.
Data dari BPS 2024 menunjukkan bahwa biaya hidup mahasiswa di kota besar Indonesia rata-rata mencapai Rp2–3 juta per bulan, angka yang menakutkan bagi mereka yang baru lepas dari uang saku.
Banyak yang mulai mencari penghasilan tambahan, dari freelance desain hingga jualan online, namun tanpa pengalaman budgeting, uang sering mengalir seperti air di tangan yang berlubang.
Tantangan literasi finansial adalah batu sandungan terbesar dalam perjalanan ini. Shim et al. (2010) mencatat bahwa banyak mahasiswa gagal mengelola keuangan karena kurang memahami konsep dasar seperti bunga pinjaman atau tabungan jangka panjang.
Di Indonesia, literasi finansial masih rendah—hanya 38% penduduk yang melek finansial menurut OJK 2023—dan Gen Z tak luput dari masalah ini.
Godaan diskon e-commerce atau tren nongkrong di kafe kekinian sering kali menggoda mereka untuk menghabiskan lebih dari yang mampu. Belum lagi risiko utang digital, seperti paylater, yang tampak manis namun bisa menjerat seperti laba-laba.
Dampak dari perjuangan ini adalah kemandirian yang perlahan terbentuk, seperti patung yang dipahat dari batu kasar. Mahasiswa yang berhasil menguasai budgeting belajar menghargai nilai uang, membuat keputusan yang lebih bijak, dan bahkan membantu keluarga mereka.
Di Indonesia, kisah mahasiswa yang mendanai kuliah sendiri melalui kerja paruh waktu atau beasiswa menjadi inspirasi, mencerminkan semangat Gen Z yang tangguh. Namun, tanpa literasi finansial yang memadai, banyak yang terjebak dalam stres finansial, yang ironisnya bisa menghambat fokus mereka pada studi atau karier masa depan.
Perjalanan dari uang saku ke budgeting adalah cerminan jiwa Gen Z: penuh semangat, namun rentan di tengah tantangan. Seperti pelaut yang belajar membaca bintang, mereka diajak untuk menguasai literasi finansial sebagai kompas hidup.
Setiap anggaran yang seimbang adalah kemenangan kecil menuju kemandirian. Jadi, lain kali kamu, Gen Z, menghitung sisa saldo di dompet digitalmu, ingatlah: setiap rupiah yang dikelola dengan bijak adalah langkah menuju kebebasan. Ayo, susun anggaranmu, dan layari lautan hidup dengan keberanian!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS