Wacana penghapusan tenaga kerja outsourcing atau alih daya dari Presiden Prabowo Subianto memberikan angin segar untuk para buruh di tanah air. Sebagai karyawan outsourcing, saya merasakan sendiri berbagai perbedaan antara karyawan tetap, kontrak, dan outsourcing di tempat kerja saya. Jangankan soal jaminan dan tunjangan, seragam aja dibuat berbeda.
Saya sudah merasa khawatir dengan kesejahteraan hidup buruh outsourcing setelah saya hendak menandatangani kontrak sebagai Admin Gudang di salah satu perusahaan FMCG terbesar di Indonesia. Tentunya, kontrak itu tertulis bahwa saya adalah karyawan di bawah vendor, alias outsourcing.
Kita tahu sendiri isi kontrak seorang karyawan outsourcing ya begitu. Bisa diberhentikan sepihak, tunjangan seadanya, jenjang karir yang tidak jelas, dan lain-lain. Hal ini yang membuat banyak buruh mengeluh dengan tenaga kerja outsourcing, karena rentan dieksploitasi dan disalahgunakan.
Jadi, wacana pemerintah akan menghapus outsourcing patut diapresiasi. Tapi, ada hal lain yang harus pemerintah perhatikan juga yakni perusahaan yang tampak dibiarkan melanggar UU Ketenagakerjaan.
Ketika karyawan outsourcing bekerja di salah satu perusahaan yang banyak melanggar undang-undang. Ini seperti makan daging sapi di kandang singa, bisa-bisa kita akan menyantap sambil disantap.
Saya ambil contoh dari kontrak kerja yang saya tandatangani. Saya bisa kena SP1 kalau menolak lembur yang mendesak. Tetapi, pada kenyataannya, selalu ada lembur di hari Minggu dan tanggal merah.
Selain itu, lembur di sini konsepnya seperti diberi jadwal, padahal di undang-undang, lembur harus berdasarkan persetujuan karyawan. Alhasil, jelas sebuah pelanggaran.
Dalam kontrak saya tertulis bahwa karyawan diberi hak libur satu hari dalam sepekan. Kenyataannya, banyak karyawan yang secara halus dipaksa lembur karena kekurangan SDM. Menurut saya, ini adalah bentuk eksploitasi secara halus yang wajib diperhatikan pemerintah.
Umumnya, para karyawan outsourcing yang tak berdaya ini sulit melawan, sebab kalau melawan ya habis bisa di-PHK. Jadi, jangan harap karyawan outsourcing bisa langgeng dalam menuntut hak-haknya, sebab akan sangat mudah bagi perusahaan untuk memberhentikan karyawan. Malah, ada beberapa perusahaan, seperti yang saya tempati, melarang karyawannya untuk berserikat.
Karyawan outsourcing pun hanya bisa gigit jari. Suara mereka dibungkam dan tenaganya terus diperas seperti robot dan mesin. Sementara, para manajer dan supervisornya, bisa menikmati malam bersama keluarga, bersenda gurau, bermain dengan anak, atau sekadar nyebat di teras sambil menyeruput kopi hitam. Bagi karyawan outsourcing, momen itu sangat mahal dan jarang.
Di perusahaan saya, tidak sedikit yang terpaksa untuk mengambil long shift karena masalah manajerial yang tak kunjung selesai. Mereka tidak memperhatikan ada kekurangan karyawan di tingkat bawah, mereka hanya ingin semua masalah selesai. Istilahnya, manusia tidak diperlakukan selayaknya manusia.
Karyawan yang setidaknya harus mendapatkan hak libur selama satu hari terkadang terpaksa menuruti atasan untuk tetap bekerja. Kadang, lemburnya tidak di-acc oleh finance dan akhirnya malah mengganti hari libur ke hari yang lain, hasil lelah para karyawan yang tampak sia-sia jadinya.
Meskipun pada dasarnya tenaga kerja alih daya ini tidak punya masalah apapun, yang memperkeruhnya adalah perusahaan itu sendiri yang merasa memiliki kuasa atas perut karyawan.
Mengancamnya dengan memutus kontrak, atau memberikan peringatan karena membuat kesalahan. Tetapi, ketika perusahaan membuat kesalahan kepada karyawan, semuanya malah tampak normal. Dan, ironisnya hal absurd ini sudah ada sejak lama.
Jadi, intinya pemerintah jangan cuma menghapus outsourcing, tetapi juga perketat penerapan dan pengawasan UU Ketenagakerjaan di berabagai perusahaan.
Jangan salah, perusahaan kecil kadang bisa lebih patuh terhadap undang-undang, beda dengan perusahaan besar, karena mereka punya banyak backing dan link untuk mengamankan situasi yang menurut mereka berbahaya. Eh.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS