Belajar Membaca Peristiwa Perusakan Makam dengan Jernih

Hayuning Ratri Hapsari | Wahyu Astungkara
Belajar Membaca Peristiwa Perusakan Makam dengan Jernih
Ilustrasi makam (Mike Bird/Pexels.com)

Beberapa hari terakhir ini ramai diperbincangkan tentang peristiwa perusakan makam yang bertanda salib di Banguntapan Bantul serta Kotagede Yogyakarta. Kabar ini cepat menyebar dan memicu berbagai reaksi dari masyarakat.

Banyak yang merasa prihatin, sekaligus bertanya-tanya soal siapa pelaku dan apa motifnya. Di era derasnya informasi yang belum tentu akurat, kita perlu bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan atas suatu informasi.

Sampai akhirnya muncul berita resmi bahwa terduga pelakunya adalah remaja usia belasan tahun. Menariknya, terduga pelaku diberitakan beragama Kristen juga. Ada versi lain yang bilang ia adalah mualaf, tapi versi ini lebih banyak beredar di grup perpesanan dan kasak-kusuk media sosial, tanpa kejelasan sumber atau klarifikasi yang sahih.

Saya tidak sedang membela siapa-siapa. Tapi kasus seperti ini mengingatkan kita untuk berhenti bersikap reaktif. Terkadang kita lebih cepat menyimpulkan ketimbang menyimak. Padahal, dalam kasus perusakan seperti ini, penting sekali membedakan antara tindakan pribadi dan gerakan kolektif.

Menjaga nalar tetap sehat 

Kita memang hidup dalam zaman yang rawan curiga. Tapi bukan berarti semua kejadian yang dianggap buruk harus dilihat sebagai bagian dari suatu konspirasi besar. Bisa saja ini murni aksi individu yang sedang dalam tekanan psikologis atau boleh jadi, hanya iseng, tak punya arah, atau ekspresi "kemarahan". 

Kalau dari rekaman kamera pengawas saja si terduga ini ngguya-ngguyu sendirian, sangat mungkin jadi indikasi bahwa dia sangat mungkin sedang tidak dalam kondisi terbaiknya. Tetapi apakah ada jaminan jika si terduga ini adalah benar-benar pelakunya? Mengingat ada catatan di dalam benak saya tentang bagaimana penegak hukum di negara ini terkadang malah "main-main" dengan hukum.

Gus Dur pernah berujar, "Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.” Ini bukan berarti kita diam saja kalau ada tindakan yang menyakiti keyakinan orang lain. Tapi juga bukan berarti setiap kabar harus disambut dengan kemarahan kolektif tanpa kejelasan.

Yang lebih perlu kita waspadai justru kalau ada aksi terstruktur, dilakukan bersama-sama, dengan niat menciptakan ketegangan sosial. Apalagi kalau menjelang musim politik. Seringkali, simbol-simbol keagamaan dijadikan sasaran bukan karena kebencian, melainkan sebagai alat polarisasi. Terkadang ada yang tiba-tiba tampil seolah paling membela agama, si paling bersih, si paling kuat. Padahal tujuannya cuma satu, menarik perhatian dan menaikkan posisi tawar.

Di titik ini, kita perlu hati-hati. Jangan-jangan, kejadian perusakan makam bukan cuma karena motif keyakinan, tapi bagian dari strategi branding tertentu. Setelah aksinya viral, mulailah ada tokoh yang tampil bak pahlawan, lalu bertemu politisi.

Franz Magnis-Suseno, seorang rohaniwan Katolik, pernah mengingatkan bahwa hidup beragama di masyarakat majemuk itu butuh partisipasi aktif. "Sebaiknya, kita sadari saja perbedaan agama-agama.” Artinya, bukan cuma tidak mengganggu keyakinan orang lain, juga menjaga agar ruang publik tidak dijadikan ajang saling jegal atas nama Tuhan.

Maka, alih-alih cepat terbakar amarah, mari belajar membaca peristiwa dengan jernih. Tidak semua kasus punya skala yang sama. Tidak semua pelaku mewakili kelompok. Kadang, hanya orang muda yang boleh jadi sedang kehilangan arah dan butuh pertolongan, bukan malah melakukan kecaman berjama'ah. 

Oiya, dan bagi aparat penegak hukum harus sangat berhati-hati mengungkap peristiwa perusakan makam tersebut. Bagi para pekerja psikososial juga memiliki tantangan untuk memastikan terduga pelaku mendapatkan hak-haknya, mengingat, terduga adalah anak yang berhadapan dengan hukum. 

Lebih jauh, mari kita jaga kampung, kelurahan, kota dan negeri ini agar tetap waras. Kita bisa mulai dari hal-hal yang kadang terlihat remeh; jangan cepat menyebarkan kabar, apalagi tanpa konfirmasi alias Tabayyun. Kadang, yang kita bagikan bukan kebenaran, justru kepanikan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak