Fenomena pinjaman online (pinjol) ilegal dan judi online (judol) telah menjadi masalah sosial yang meresahkan di Indonesia.
Ribuan orang terjebak dalam lingkaran utang dan kerugian yang merusak, sering kali berawal dari minimnya pemahaman tentang pengelolaan uang.
Keduanya sering kali menggerogoti keuangan, menghancurkan relasi sosial, bahkan meruntuhkan masa depan seseorang. Sayangnya, kasus-kasus ini tidak sedikit melibatkan anak muda yang kurang memiliki bekal literasi finansial.
Di sinilah membaca hadir bukan hanya sebagai hobi atau hiburan, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan kultural. Buku dalam berbagai genre, mulai dari fiksi hingga nonfiksi dapat menjadi medium belajar yang sederhana namun berdampak dalam membangun kesadaran finansial.
Literasi finansial dapat berperan sebagai senjata paling ampuh untuk membentengi diri dari dua monster digital yang membahayakan generasi muda ini.
Literasi finansial bukan sekadar tentang menghitung untung-rugi atau menabung di bank. Namun, literasi finansial juga merupakan keterampilan hidup untuk memahami bagaimana uang bekerja, bagaimana mengelola risiko, serta bagaimana membedakan kebutuhan dan keinginan.
Buku-buku pengantar keuangan pribadi seperti Rich Dad Poor Dad karya Robert Kiyosaki, atau versi lokal seperti Ngomongin Uang karya Gleen Ardi, dapat membuka mata pembaca pada pentingnya perencanaan keuangan.
Selain itu buku The Psychology of Money karya Morgan Housel yang membahas bagaimana perilaku, emosi, dan cara berpikir kita jauh lebih menentukan hasil keuangan daripada sekadar teori angka bahkan tingkat pendidikan sekalipun.
Melalui membaca, seseorang belajar bahwa uang cepat yang ditawarkan pinjol dan judol sering kali hanyalah jebakan. Pembaca diajak merenung, bahwa kekayaan tidak lahir dari instan, melainkan dari kebiasaan kecil seperti mencatat pengeluaran, memahami bunga, dan mengelola utang.
Jangan salah, literasi finansial tidak hanya datang dari buku motivasi atau teori ekonomi. Novel dan cerita fiksi pun mampu mengasah pemahaman.
Banyak kisah yang menyinggung tentang hutang, keserakahan, atau keruntuhan akibat kecanduan. Melalui tokoh-tokoh fiksi, pembaca bisa belajar tanpa perlu jatuh ke lubang yang sama. Membaca fiksi adalah cara empatik untuk memahami risiko dari keputusan finansial yang gegabah.
Ketika masyarakat semakin akrab dengan budaya membaca, tidak menutup kemungkinan mereka memiliki perisai mental untuk menolak bujuk rayu iklan pinjol ilegal atau ajakan bermain judol.
Pendidikan finansial yang dimulai sejak dini dapat menjadi benteng terkuat bagi generasi mendatang. Dengan membekali diri dengan pengetahuan ini, masyarakat tidak lagi menjadi korban pasif, melainkan menjadi agen aktif yang mampu mengendalikan nasib finansial mereka sendiri.
Pemerintah menyadari urgensi masalah ini. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menerbitkan Panduan Pendidikan Literasi Finansial sebagai salah satu isu prioritas dalam Kurikulum Merdeka.
Panduan ini berfokus pada empat kerangka kompetensi seperti cara memperoleh penghasilan, mengelola anggaran, menyisihkan penghasilan, dan mengelola risiko.
Materi ini diintegrasikan ke dalam mata pelajaran seperti IPAS, IPS, dan Bahasa Indonesia sejak jenjang dasar hingga menengah, menegaskan bahwa literasi finansial adalah kompetensi lintas disiplin, bukan mata pelajaran terpisah.
Pengetahuan yang diperoleh dari buku membuat seseorang lebih kritis, apakah tawaran ini rasional? apakah manfaatnya sebanding dengan risikonya?
Dengan demikian, membaca bukan hanya aktivitas pasif, melainkan tindakan aktif terhadap jebakan ekonomi khususnya di era digital.
Dengan membaca membantu kita menyadari bahwa ada jalan lain untuk memperbaiki hidup, belajar, bekerja, berinvestasi secara bijak, tanpa harus terjerumus pada lingkaran hutang dan jatuh pada lubang yang sama.