Fenomena femisida kembali mencuat ke ruang publik, menandai persoalan yang tak kunjung tuntas di tengah sistem hukum dan sosial kita.
Femisida, yang didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena alasan gender, bukanlah isu baru. Namun, isu ini kerap terpinggirkan dari perbincangan hukum dan kebijakan publik. Hingga kini, femisida belum mendapat perhatian proporsional dari aparat penegak hukum maupun pembuat kebijakan.
Padahal, apa yang terjadi di ruang interogasi dan persidangan mencerminkan dinamika kekuasaan dalam masyarakat yang lebih luas—dominasi, kekerasan, dan ketimpangan gender kerap dilegalkan dalam diam.
Realitas Tragis dalam Data
Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial menjadi kanal informasi utama yang menyuarakan kekerasan terhadap perempuan.
Banyak kasus pembunuhan yang mencuat ke permukaan ternyata dilakukan oleh orang terdekat korban—pacar, mantan kekasih, suami, hingga anggota keluarga lainnya. Ini mempertegas bahwa rumah dan relasi intim pun tak selalu menjadi ruang aman bagi perempuan.
Sidang Umum Dewan HAM PBB menggarisbawahi bahwa femisida tidak sekadar pembunuhan biasa. Ia merupakan tindakan yang berpijak pada keinginan untuk menguasai, menundukkan, bahkan meniadakan eksistensi perempuan sebagai subjek otonom.
Femisida adalah puncak dari piramida kekerasan berbasis gender, yang dasarnya dimulai dari mikro agresi hingga kekerasan fisik.
Data yang dihimpun dari berbagai sumber memperlihatkan urgensi persoalan ini. Komnas Perempuan mencatat 798 kasus femisida antara 2020 hingga 2023. Monitoring pemberitaan digital selama periode November 2022 hingga Oktober 2023 mengindikasikan 159 kasus femisida kuat dari 388 laporan awal.
Sementara itu, laporan Lintas Feminis Jakarta menyebutkan sedikitnya 161 kasus pembunuhan terhadap perempuan dalam rentang 2016–2017, dengan mayoritas pelaku adalah laki-laki.
Namun, hingga saat ini belum ada sistem pendataan nasional yang secara spesifik mengklasifikasikan kasus femisida secara resmi. Hal ini menunjukkan masih adanya kekosongan struktural dalam mengenali dan menangani kekerasan berbasis gender secara sistematis.
Tantangan di Hadapan Penegak Hukum
Persoalan utama dalam penanganan kasus femisida di Indonesia terletak pada cara pandang aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya sensitif terhadap persoalan gender. Femisida kerap diperlakukan sebagai pembunuhan biasa, sehingga aspek-aspek relasional dan struktural yang melatarbelakangi kejahatan ini terabaikan.
Banyak aparat hukum belum mengenal istilah femisida secara utuh, sehingga tidak mampu membedakan antara kekerasan yang dipicu relasi kuasa gender dan pembunuhan umum.
Dalam banyak kasus, pembunuhan terhadap perempuan hanya dijerat dengan pasal-pasal pembunuhan biasa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tanpa menyoroti akar kekerasan yang bersifat sistemik.
Minimnya perspektif korban juga menjadi sorotan. Perempuan kerap tidak dipercaya saat melaporkan ancaman atau kekerasan yang mereka alami. Akibatnya, banyak kasus femisida yang sebenarnya bisa dicegah sejak dini, berujung tragis karena respons negara yang lamban.
Urgensi Reformasi Kebijakan
Untuk memutus siklus kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida, diperlukan reformasi kebijakan hukum yang berpihak pada korban dan berpijak pada keadilan gender. Salah satu langkah konkret yang perlu ditempuh adalah mengakui femisida sebagai kategori kejahatan khusus dalam hukum pidana nasional.
Penetapan femisida sebagai bentuk pembunuhan dengan alasan gender akan membuka ruang untuk pemberatan hukuman bagi pelaku, sekaligus menjadi sinyal bahwa negara memandang serius kejahatan terhadap perempuan.
Langkah ini juga dapat menjadi dasar untuk menyusun mekanisme perlindungan lebih baik bagi perempuan yang berada dalam situasi rawan kekerasan.
Selain itu, institusi kepolisian perlu membangun sistem dokumentasi terpadu yang mampu mencatat dan menganalisis pola kasus kekerasan terhadap perempuan secara rinci. Pendekatan berbasis data akan sangat membantu dalam merumuskan kebijakan pencegahan dan penanganan yang lebih efektif.
Pendidikan dan Kesadaran Publik
Namun, kerja-kerja struktural tak akan lengkap tanpa perubahan kultural. Pendidikan kesetaraan gender perlu diperkuat, baik melalui jalur formal di institusi pendidikan maupun lewat kampanye publik yang konsisten.
Masyarakat perlu memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tindakan kriminal, melainkan gejala dari ketimpangan kuasa yang dilembagakan dalam budaya dan sistem sosial.
Media massa juga memegang peran penting dalam membingkai kasus femisida secara adil dan informatif. Pelabelan kasus sebagai “drama asmara” atau “motif cemburu” perlu dihindari, agar tidak menutup mata terhadap realitas kekerasan berbasis gender.
Menuju Lingkungan Aman dan Setara
Mengatasi femisida memerlukan kolaborasi lintas sektor—dari pemerintah, DPR, kepolisian, lembaga peradilan, media, hingga masyarakat sipil. Semua pihak harus mengedepankan keberpihakan pada korban dan membangun ekosistem hukum yang responsif terhadap kekerasan berbasis gender.
Dengan langkah kolektif dan komitmen jangka panjang, Indonesia dapat menuju masyarakat yang tidak hanya menjunjung tinggi kesetaraan, tetapi juga menjamin keselamatan perempuan sebagai hak asasi yang tak bisa ditawar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS