Pemenuhan hak asasi bagi masyarakat adat tampaknya menjadi janji yang sulit ditepati. Tiap tahun, berita tentang konflik yang melibatkan masyarakat adat terus bergaung, termasuk di dalamnya adalah konflik agraria.
Hingga kini, masyarakat adat terus bergelut dengan pemerintah dan korporasi untuk memperjuangkan hak terhadap tanah ulayat atau tanah adat mereka.
Yang dimaksud dengan tanah ulayat itu sendiri adalah tanah yang dimiliki secara kolektif oleh sekelompok masyarakat dalam hukum adat. Istilah ulayat merujuk pula pada hak suatu kelompok masyarakat adat untuk menguasai tanah tertentu atau disebut juga sebagai hak ulayat.
Dengan demikian, hak ulayat merupakan wewenang dan kewajiban bagi masyarakat adat yang berhubungan dengan lingkungan di lingkup wilayah hukum adat mereka.
Keberadaan hak ulayat juga telah diakui secara sah oleh hukum melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Sayangnya, adanya UUPA tersebut tidak bisa menyurutkan konflik yang terjadi di tanah adat. Sebaliknya, sengketa yang melibatkan masyarakat adat dengan pihak luar adat menjadi persoalan kompleks yang berkepanjangan. Isu ini menjadi permasalahan serius yang harus segera ditangani.
Di sisi lain, kehadiran korporasi tertentu dalam pemanfaatan lahan adat terkadang menimbulkan konflik baru yang tak berkesudahan. Persoalan yang paling sering didengar adalah alih fungsi lahan menjadi daerah pertambangan atau perkebunan.
Kegiatan ini bukan hanya dikhawatirkan akan menggeser eksistensi masyarakat adat dari tanah mereka sendiri, tetapi dalam skala yang lebih luas, alih fungsi lahan dikhawatirkan bisa merusak lingkungan dan ekosistem alam.
Sebab Konflik di Tanah Adat
Perebutan wilayah di tanah adat rupanya merupakan konflik yang sudah lama ada. Jika menarik garis mundur, konflik agraria ini sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda yang disebabkan oleh kebijakan Domein Verklaring yang diusung pemerintah Belanda kala itu.
Kebijakan ini menyatakan bahwa tanah yang tidak dimiliki secara sah oleh individu atau entitas lain akan diambil alih oleh pemerintah kolonial dan dimiliki negara.
Hal itu menyebabkan ketidakpastian akan kepemilikan tanah adat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Akibatnya, masyarakat adat kerap menghadapi persoalan rumit yang menyangkut kepemilikan lahan. Terlebih apabila ada klaim kepemilikan tanah adat sebagai wilayah konsesi oleh suatu korporasi.
Oleh sebab itulah, tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi salah satu penyebab utama konflik agraria di tanah adat. Masyarakat adat berpegang pada kepemilikan secara tradisional yang menganggap bahwa tanah adat merupakan milik mereka karena diwarisi oleh nenek moyang.
Namun, berdasarkan Undang-Undang yang sah, negara masih memiliki hak untuk ikut mengelola tanah adat sehingga pemerintah memiliki wewenang untuk mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) sebagai izin kepada perusahaan negara atau swasta untuk mengelola dan memanfaatkan lahan adat.
Konflik makin berkepanjangan kala masyarakat adat kekurangan ruang untuk berdiskusi dengan layak. Maka, perlu diakui juga bahwa telah terjadi defisit partisipasi masyarakat adat di setiap pengambilan keputusan terkait pemanfaatan tanah adat.
Meskipun pemerintah sering kali berupaya membangun komunikasi dengan perwakilan masyarakat adat, tetapi usaha tersebut dinilai belum cukup untuk menjamin hak masyarakat adat karena belum bisa mewakili keseluruhan masyarakat adat itu sendiri.
Di sisi lain, koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat adat tak jarang jadi tersendat karena informasi yang disampaikan tidak jelas.
Payung Hukum yang Belum Pasti
Meskipun hak-hak ulayat masyarakat adat telah diakui oleh undang-undang dan ketetapan pemerintah, namun implementasi perlindungannya masih sangat minimalis.
Lebih dari satu dekade, tepatnya 15 tahun sejak dicanangkan, penetapan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat masih tampak abu-abu. Pengesahan RUU ini terus digaungkan sebab diyakini bisa menjadi payung hukum yang memungkinkan pemerintah memberikan perlindungan dan pengakuan yang pasti terhadap masyarakat adat.
Sejak diinisiasi pada tahun 2010 silam, RUU Masyarakat Adat telah masuk Prolegnas Prioritas sejak tahun 2011. Sayangnya, progres yang lambat membuat RUU ini belum juga mendapat kepastian untuk disahkan.
Padahal pengesahan RUU ini bisa menjadi langkah awal memperkuat keadilan dan identitas budaya di Indonesia. Hal ini karena RUU Masyarakat Adat memuat poin penting perihal hak atas tanah, sumber daya alam, hukum adat, dan otonomi budaya.
Jika tidak ada payung hukum yang kuat, dikhawatirkan eksistensi masyarakat adat terus tersingkirkan dari tanah mereka sendiri. Lebih jauh, nilai budaya, kekayaan alam, dan kelestarian ekologi juga akan terkena dampak yang memprihatinkan sebab masyarakat adat merupakan nyawa dan penggerak kebudayaan di sana.
Di samping itu, RUU ini juga menjamin hak asasi masyarakat adat sebagai manusia yang utuh serta dianggap bisa meredam konflik hukum adat dengan hukum negara.
Dengan demikian, keberadaan masyarakat adat yang kian tersisih dari tanah mereka sendiri harus menjadi perhatian bagi kita semua. Sementara itu, pemerintah juga harus segera menjamin hak-hak masyarakat adat melalui pengakuan hukum yang kuat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS