Pernah nggak sih kamu merasa bosan tapi juga ragu saat ingin coba genre buku lain? Misalnya, biasanya kamu nyaman dengan novel populer yang penuh kisah asmara dan kehidupan sehari-hari.
Pada suatu kesempatan kamu tidak sengaja mendapatkan rekomendasi atau inshigt dari sebuah buku yang sebelumnya tidak ada di daftar wishlist.
Lantas kamu tiba-tiba tertarik membaca buku tersebut, katakanlah seperti fiksi sejarah atau novel-novel filsafat yang nuansanya lebih serius, setting-nya jauh dari keseharian, dan dipenuhi istilah asing.
Rasanya seperti mendarat di dunia yang sama sekali baru. Bingung, berat, kadang juga membuat ingin menyerah. Tapi hal itu wajar. Membaca genre yang berbeda dari kebiasaan memang menantang, apalagi kalau narasi dan gaya bahasanya berbeda drastis.
Kamu mungkin tidak langsung paham isi ceritanya. Butuh waktu lebih lama untuk menyelami latar belakang sejarah, memahami konflik politis, atau menangkap simbolisme yang tersembunyi. Tapi percayalah, di sanalah letak keasyikannya, kita sedang membuka jendela baru dalam dunia literasi pribadi kita.
Beralih genre bacaan sebenarnya bukan soal meninggalkan kesukaan lama, tapi lebih ke upaya memperkaya sudut pandang.
Sama seperti kita butuh variasi dalam makanan, musik, atau tontonan, bacaan pun sebaiknya tidak berhenti di satu titik. Karena di genre yang berbeda, ada perspektif baru yang bisa membentuk empati, memperluas wawasan, dan melatih kemampuan berpikir kritis.
Bayangkan ada seorang pembaca yang sangat menyukai novel-novel populer, sebut saja karya-karya Brian Khrisna. Ia terbiasa menikmati alur yang mengalir ringan, tema cinta yang relevan, dan bahasa yang puitis serta menyentuh.
Suatu hari, ia merasa ingin mencoba sesuatu yang berbeda, lalu memutuskan untuk membaca fiksi sejarah, seperti karya Leila S. Chudori. Saat membuka halaman demi halaman, ia merasa cukup kewalahan banyak referensi sejarah, istilah politik, dan nuansa zaman yang belum familiar.
Namun perlahan, ia mulai terbiasa. Ia menemukan kepuasan baru saat berhasil memahami dinamika sosial dan politik dalam cerita. Dari situ, ia menyadari bahwa berpindah genre memang tidak mudah, tapi justru membuka cakrawala baru yang memperkaya pengalaman membacanya.
Kita pun tak perlu memaksakan diri untuk langsung mengerti semuanya. Membaca fiksi sejarah, misalnya, tak mengharuskan kita hafal setiap nama tokoh dan peristiwa.
Sama halnya ketika membaca sastra klasik atau buku filsafat, tidak berarti kita harus mengerti seluruhnya sejak halaman pertama. Kadang, memahami satu makna atau satu kalimat penting dari ratusan halaman itu sudah cukup bernilai.
Mengeksplorasi genre juga membantu kita mengenal diri sendiri sebagai pembaca. Kita jadi tahu mana tema yang benar-benar menyentuh, mana yang menantang intelektualitas, dan mana yang bisa jadi “teman baik” saat hati sedang penat.
Dan tak jarang, justru dari genre yang awalnya terasa asing, kita bisa menemukan buku favorit yang tak terduga. Jadi, kalau kamu sedang merasa ingin mencoba genre baru tapi takut “nggak nyambung,” tak apa.
Tidak ada yang salah jika kamu butuh waktu lebih lama membaca atau tidak langsung mengerti semuanya. Proses itu sendiri sudah merupakan bentuk keberanian dan pertumbuhan literasi.
Membaca harusnya bukan ruang untuk menghakimi diri sendiri, tapi tempat bermain, belajar, dan berekspresi. Jadi, beranilah untuk keluar dari zona nyaman genre bacaanmu. Karena bisa jadi, buku yang mengubah hidupmu justru datang dari rak yang tak pernah kamu lirik sebelumnya.